Teori sastra (literary theory)[1] di Indonesia secara praksis sering
kali dipahami juga sebagai kritik sastra (criticism).[2] Sementara
kritik sastra tidak jarang diperlakukan sebagai pendekatan (approaches
to literature).[3] Dalam hal ini, kritik sastra dianggap merupakan
pendekatan yang dapat dimanfaatkan dan digunakan untuk berbagai
kepentingan penelitian terhadap karya sastra konkret. Demikianlah, dalam
banyak perbincangan, baik teori sastra maupun pendekatan atau
penelitian sastra, hampir selalu ditempatkan dalam pengertian sebagai
kritik sastra. Atau di bagian lain, teori sastra dikatakan juga sebagai
teori kritik sastra.[4] Jadi, pembicaraan mengenai strukturalisme atau
semiotik, misalnya, dianggap sebagai bagian dari pembicaraan teori
kritik sastra.
Terlepas dari pemahaman yang tampak tumpang-tindih itu, sejauh
pengamatan, hampir semua bersepakat, bahwa teori-teori itu sepenuhnya
berasal dari Barat. Oleh karena itu, orientasi teori sastra di Indonesia
dipahami dalam dikaitkannya dengan perkembangan teori sastra Barat.
Kesan itu muncul ketika ada usaha-usaha untuk merumuskan teori sastra
Indonesia yang khas dilahirkan berdasarkan cara pandang dan ruh
kebudayaan Indonesia sendiri. Kesadaran untuk menghasilkan teori sastra
yang khas Indonesia dan tidak bergantung teori sastra Barat itu, muncul
lantaran dunia akademi tempat para mahasiswa dan dosen mempelajari dan
mengembangkan ilmu sastra, dianggap telah menempatkan teori sastra
modern cenderung lebih bersifat formalistik. Sementara itu, pembicaraan
mengenai karya sastra itu sendiri atau kritik langsung terhadap karya
sastra, kurang mendapat perhatian. Akibatnya, teori ditempatkan sebagai
teori an sich, dan bukan dijadikan sebagai alat untuk menganalisis karya
sastra. Demikianlah, atas anggapan itu, muncul kemudian keinginan dari
beberapa pengamat sastra untuk tidak secara bulat-mentah menerima teori
sastra Barat.
Subagio Sastrowardoyo, misalnya, mengungkapkan, “… dengan
menitikberatkan pada teori-teori yang bergerak pada tataran yang umum
dan abstrak tentang kesusastraan, maka terdapat kecenderungan yang kuat
untuk meninggalkan penelaahan yang konkret terhadap karya sastra.”[5]
Sebaliknya, ketika ada usaha untuk melakukan penelaahan yang konkret
terhadap karya sastra atau melakukan kritik langsung atas karya sastra,
teori-teori yang mestinya menjadi alat analisis, tiba-tiba seperti gagal
mengemudikan analisis dan interpretasi untuk mengungkap kekayaan makna
karya sastra. Teori-teori itu seperti kehilangan relevansinya manakala
hendak dioperasionalisasikan. Ia pada akhirnya seperti tempelan belaka
yang seolah-olah sekadar memberi kesan ilmiah. “Penyelidikan sastra
jadinya ditandai oleh ketiadaan teori dan metode yang jelas. Mungkin ada
semacam teori dan metode, tetapi lebih merupakan teori dan metode yang
bersifat ad hoc, disesuaikan dengan bahan yang ada.”[6] Itulah yang
terjadi dalam banyak skripsi (tugas akhir kesarjanaan), mahasiswa
fakultas sastra. Teori sastra jadinya sekadar hendak menegaskan kesan
ilmiah belaka, sementara tugasnya sebagai alat analisis, interpretasi,
dan evaluasi, tidak jelas ke mana arahnya.
Teori-teori sastra yang diperkenalkan dan diajarkan dalam dunia
akademi di Indonesia, memang tidak lain bersumber dari teori sastra
Barat. Dengan demikian, pembicaraan teori sastra (Indonesia) pada
hakikatnya adalah teori sastra Barat. Itulah anggapan yang selama ini
berkembang dalam sejumlah buku yang membicarakan kritik sastra
Indonesia. Apakah sebelum itu, sama sekali tidak ada usaha-usaha untuk
mencoba merumuskan semacam teori sastra (Indonesia) yang lebih sesuai
dengan estetika kultur Indonesia sendiri? Bagaimana duduk masalah yang
sesungguhnya, sehingga pemahaman tentang teori sastra (Barat) dan usaha
untuk menerapkannya seperti tetesan minyak dalam air; terpisah sendiri
dan sering kali gagal menjadi alat analisis, interpretasi, dan evaluasi?
***
Dalam ilmu sastra,[7] ada tiga bidang kegiatan penelitian yang
berkaitan dengan sastra dan kesastraan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan
satu dengan lainnya. Keberadaan masing-masing bidang bersifat saling
melengkapi, komplementer dan saling mendukung. Mengingat sifatnya itu,
ketiga bidang itu dapat dimasukkan ke dalam tiga wilayah kegiatan
penelitian yang bersifat teoretis (teori sastra –literary theory),
historis (sejarah sastra –literary history), dan kritis (kritik sastra
–literary criticism).
Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori
sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra.[8] Teori sastra bekerja dalam
bidang teori, misalnya penyelidikan tentang hal-hal yang berhubungan
dengan pengertian sastra, hakikatnya, jenisnya, dasar-dasarnya, kriteria
dan berbagai hal tentang itu. Ia adalah studi prinsip-prinsip sastra,
kategori-kategorinya, kriteria, dan sejenisnya. Teori sastra hanya dapat
disusun berdasarkan studi langsung terhadap karya sastra,[9] dan ia
harus menciptakan dasar konsep yang universal, atau sekurang-kurangnya
konsep umum, yang dapat dipakai untuk mendeskripsikan dan menjelaskan
fakta-fakta.[10] Dengan demikian, teori sastra merupakan salah satu
cabang ilmu sastra yang berusaha merumuskan pengertian-pengertian
tentang sastra, hakikat dan prinsip-prinsip sastra, melakukan
pengklasifikasian terhadap jenis dan ragam-ragam sastra, serta
menyodorkan bagaimana analisis, interpretasi dan evaluasi terhadap karya
sastra konkret dapat dilakukan.
Sebagai salah satu cabang ilmu sastra, teori sastra dapat memberi
kontribusinya bagi cabang ilmu sastra lainnya, yaitu kritik sastra dan
sejarah sastra. Kritik sastra, misalnya, hanya mungkin dapat melakukan
evaluasi terhadap karya sastra secara objektif, jika evaluasinya
didasarkan pada teori sastra. Kritik terhadap karya sastra konkret hanya
akan menghasilkan penilaian yang sangat subjektif dan tak berdasar,
jika ia mengabaikan teori sastra sebagai landasan penilaiannya. Begitu
juga, sejarah sastra hanya mungkin dapat menjalankan tugasnya dengan
baik jika memperoleh bantuan teori sastra. Bagaimana mungkin sejarah
sastra dapat mencatat terjadinya berbagai pembaruan dalam karya sastra
jika ia tidak didukung oleh pemahaman mengenai teori sastra. Lalu, untuk
apa pula teori sastra, jika ia tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
kritik sastra. Begitu pula, kritik sastra yang tidak menggunakan teori
sastra sebagai alat ukurnya, hanya akan menghasilkan interpretasi dan
evaluasi yang terlalu subjektif. Di situlah, teori sastra, sejarah
sastra, dan kritik sastra, hadir dalam fungsinya yang saling melengkapi.
Dengan pemahaman bahwa yang dimaksud teori sastra itu merupakan studi
prinsip, kategori, dan kriteria berdasarkan penyelidikan terhadap
sejumlah karya sastra dengan tujuan menghasilkan dasar konsepsi yang
berlaku secara universal atau paling tidak, berlaku umum, maka pandangan
Rachmat Djoko Pradopo,[11] bahwa kritik sastra Indonesia tahun
1950-1970 belum menggunakan teori sastra, yang dimaksud teori sastra itu
adalah teori sastra Barat. Demikian juga pernyataan Subagio
Sastrowardoyo bahwa Indonesia selalu terlambat dalam menerima
pengetahuan tentang teori-teori sastra yang bermunculan di dunia
Barat,[12] menegaskan kembali betapa teori sastra (Barat) menjadi begitu
penting dalam perkembangan teori sastra di Indonesia.
Lebih lanjut, dikatakan Sastrowardoyo bahwa keterlambatan itu
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, jarak hubungan kultural dan
intelektual antara Indonesia dengan benua Amerika dan Eropa. Kedua,
pemasukan buku dan majalah yang bersifat akademis dari luar negeri yang
belum lancar dan masih terbatas jenisnya. Ketiga, kemampuan dan
penguasaan umum yang masih lemah dalam pemahaman bahasa asing, sehingga
menghambat pendalaman ke dalam objek studi, khususnya teori sastra.[13]
Jika yang dimaksud keterlambatan menerima teori sastra, sebagaimana
yang dikatakan Subagio Sastrowardoyo itu, sebagai keterlambatan menerima
teori sastra Barat, maka masalah sebenarnya berkaitan dengan
perkembangan kritik akademi atau kritik ilmiah. Dengan demikian,
keterlambatan itu merupakan sesuatu yang wajar saja, jika itu
ditempatkan dalam konteks kritik akademi atau kritik ilmiah. Apalagi
jika mengingat munculnya kritik akademi atau kritik ilmiah, baru
memperoleh bentuknya yang lebih jelas selepas tahun 1970-an, sebagaimana
yang kemudian diajarkan di fakultas-fakultas sastra berbagai perguruan
tinggi. Kritik sastra –yang di dalamnya menyangkut pembicaraan teori
sastra— kemudian juga menjadi bagian dari kurikulum nasional pengajaran
sastra.
Meskipun demikian, keterlambatan seperti dikatakan Subagio
Sastrowardoyo itu sesungguhnya tidak juga sepenuhnya benar.[14] Anggapan
terjadinya keterlambatan itu, sebenarnya cenderung lebih disebabkan
oleh kelalaian membaca sejarah. Kritik dan teori sastra seolah-olah
muncul tanpa sejarah. Itulah sebabnya, ketika ada usaha-usaha untuk
merumuskan teori sastra sendiri –seperti yang pernah terjadi awal tahun
1980-an— pijakan pertama yang digunakan adalah teori sastra Barat, dan
bukan lebih dahulu mencoba menyimak apa yang pernah terjadi sebelumnya.
Atau, paling tidak, berangkat dari pertanyaan: apakah masalah itu
sebelumnya pernah dibicarakan atau tidak. Dengan demikian, anggapan
adanya keterlambatan penerimaan teori sastra Barat, boleh dikatakan
muncul dari sikap apriori yang menafikan sejarah perkembangan teori dan
kritik sastra Indonesia sendiri.
Jika melihat sejarah perjalanan kritik sastra di Indonesia yang
justru sudah dimulai sejak zaman Pandji Poestaka,[15] maka dalam
praktiknya, pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra, sebenarnya
sudah dimulai sejak itu. Jadi, usaha-usaha ke arah perumusan teori
sastra Indonesia sangat mungkin pula justru sudah muncul sejak zaman
Pandji Poestaka dan kemudian semarak pada zaman Poedjangga Baroe. Lalu,
apakah lantaran tulisan-tulisan itu masih tercecer dalam
lembaran-lembaran suratkabar dan majalah, maka pembicaraan mengenai
teori dan kritik sastra Indonesia hampir tak pernah mengungkap berbagai
tulisan itu? Jadi, mengapa berbagai tulisan yang tersebar dalam majalah
atau suratkabar itu hampir-hampir tidak pernah disinggung dalam konteks
pembicaraan teori sastra (Indonesia)?
Paling sedikit ada tiga hal yang menyebabkan berbagai tulisan dalam
surat kabar dan majalah itu sering diabaikan dalam pembicaraan teori
sastra.
Pertama, kecenderungan yang dilakukan para pengamat sastra Indonesia
dalam menyusun sejarah sastra Indonesia mendasari penelitiannya pada
karya-karya yang berujud buku, sementara karya-karya sastra yang masih
tersebar di berbagai media massa sering kali diabaikan. A. Teeuw[16] dan
Ajip Rosidi,[17] misalnya, menempatkan kelahiran kesusastraan Indonesia
semata-mata berdasarkan karya-karya yang diterbitkan dalam bentuk buku.
Akibatnya, awal kelahiran kesusastraan Indonesia, misalnya,
dikatakannya berkisar pada kemunculan buku-buku terbitan Balai Pustaka.
Padahal, cerita pendek, cerita bersambung (feuilleton), dan puisi, sudah
sering bermunculan di berbagai suratkabar dan majalah pada akhir abad
ke-18 dan awal abad ke-19. Dengan demikian, karya-karya yang disiarkan
media massa itu kehadirannya justru mendahului buku-buku terbitan Balai
Pustaka. Jadi, kelahiran kesusastraan Indonesia modern sesungguhnya
tidak dapat dilepaskan begitu saja dengan penerbitan suratkabar dan
majalah.
Kedua, pemahaman kritik sastra –khasnya kritik sastra ilmiah atau
kritik sastra akademi— dianggap hanya berkaitan dengan karya-karya
ilmiah yang berupa karya kesarjanaan (skripsi, tesis, atau disertasi).
Bahkan ada kesan bahwa kritik ilmiah atau kritik akademi, seolah-olah
hanya berada di wilayah institusi pendidikan (fakultas sastra) dan tidak
berada di luar itu. Kritik akademi jadinya memperoleh pemaknaan yang
sempit dan dianggap yang hanya dapat dilakukan oleh para sarjana.
Kritikus di luar itu, seolah-olah hanya menghasilkan kritik umum atau
kritik impresionistik yang menekankan kesan subjektif kritikus, dan
bukan menempatkan karya sastra sebagai objek penelitiannya. Akibat
pemahaman itulah, kritik sastra akademi atau kritik sastra ilmiah lalu
dibedakan dengan kritik impresionistik yang ditulis oleh sastrawan.
Sementara kritik sastra umum yang terdapat di media massa, baik berupa
resensi buku, maupun ulasan terhadap karya sastra konkret, cenderung
tidak diperlakukan sebagai model kritik sastra ilmiah atau kritik
akademi.[18]
Ketiga, kuatnya pengaruh kritik aliran Rawamangun[19] dalam institusi
pendidikan sastra di Indonesia ikut pula mempengaruhi cara pandang dan
perlakuan terhadap esai-esai yang disiarkan majalah atau surat kabar.
Akibatnya, kritik atau ulasan terhadap karya sastra konkret yang
disiarkan media massa itu, sering kali dianggap tidak ilmiah.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan esai-esai (kritik sastra
umum) yang disiarkan dalam suratkabar dan majalah kurang mendapat
perhatian, bahkan terkesan seperti dibiarkan tercecer begitu saja. Untuk
memberi gambaran, betapa pentingnya sejarah sastra –termasuk di
dalamnya pembicaraan mengenai kritik dan teori sastra— mengungkap
tulisan-tulisan dan perbalahan yang terjadi di media massa, berikut ini
akan dibincangkan berbagai tulisan dalam mengenai teori sastra yang
pernah disiarkan Pandji Poestaka, Poedjangga Baroe dan beberapa majalah
lain yang terbit kemudian.
***
Seperti telah disebutkan, kritik sastra di Indonesia, secara praksis
telah dimulai sejak Pandji Poestaka membuka rubrik atau ruangan
“Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam
rubrik itu, Alisjahbana banyak mengulas dan memberi tanggapan atas
sejumlah puisi yang dikirim ke majalah itu, dan juga membandingkannya
dengan syair. Di samping itu, ia juga menyampaikan pandangannya mengenai
apa yang disebutnya sebagai “Kesusastraan Baru” dengan berbagai
ciri-cirinya. Dengan konsep kesusastraan baru yang diajukannya itu, ia
melakukan interpretasi dan evaluasi atas puisi-puisi yang
dibicarakannya. Dengan begitu, Alisjahbana sesungguhnya tidak hanya
sudah melakukan praktik kritik sastra, tetapi juga memulai pembicaraan
mengenai teori sastra. Dalam ruang “Memadjoekan Kesoesasteraan” (Pandji
Poestaka, edisi Mei 1932),[20] Alisjahbana menurunkan artikel berjudul
“Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe”. Ia mengawali tulisannya sebagai
berikut:
Pastilah roebrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” ini boekan sadja
goenanja oentoek memoeatkan boeah tangan peodjangga kita. Sekali-kali
ada djoega faedahnja, kalau dikemoekakan beberapa pikiran atau timbangan
jang berfaedah oentoek memadjoekan kesoesasteraan.
Sekali ini kami hendak menoeliskan beberapa pertimbangan tentang
kiasan dalam karang-mengarang pada oemoemnja dan dalam poeisi atau sjair
pada choesoesnja.
Dikatakan lebih lanjut, bahwa kiasan, ibarat, atau perbandingan
sangat penting dalam puisi Indonesia, mengingat bangsa Indonesia sudah
sangat akrab dengan gaya bahasa itu. Kecenderungan yang menonjol
pemakaian kiasan atau perbandingan dalam puisi waktu itu adalah kiasan
atau perbandingan yang sudah sering digunakan orang atau yang banyak
terdapat dalam karya-karya sastra lama. “Pengarang harus melepaskan
dirinya dari kebiasaan mengarang yang lama itu. Ia harus mengemukakan
perasaannya sendiri, pikirannya sendiri, dan pemandangannya sendiri….
Sesungguhnyalah yang pertama sekali harus dilangsungkan oleh pujangga
bangsa kita dewasa ini: melepaskan dirinya dari kungkungan yang erat
mengikat dan kurungan yang lembab dan gelap, membunuh semangat.”
Demikian penegasan Alisjahbana. Oleh karena itu, pemakaian kiasan dalam
puisi, menurutnya, menuntut syarat-syarat tertentu.
Maka sesungguhnya perbandingan, kiasan, ibarat itu ada syarat-syaratnya.
Untuk menyelidiki betapa harusnya syarat kiasan dalam syair, haruslah kita mengaji dahulu apa yang dinamakan syair atau puisi.
Syair atau puisi ialah penjelmaan perasaan dengan perkataan.[21]
Dalam uraian selanjutnya, Alisjahbana mengungkapkan sejumlah kriteria
mengenai ciri-ciri kiasan, ibarat, atau perbandingan yang menurutnya
mencerminkan semangat kesusastraan baru. Dengan begitu, secara langsung
Alisjahbana tidak hanya mencoba merumuskan apa yang dimaksud dengan
puisi dan syair, pengertian kiasan, perbandingan, dan ibarat, tetapi
juga menyodorkan sejumlah kriteria pemakaian kiasan atau perbandingan
dalam puisi baru.
Menurutnya, puisi lama cenderung mementingkan bunyi daripada isi atau
amanat yang hendak penyair, sedangkan puisi baru, tidak hanya
mempertimbangkan bunyi, tetapi juga makna setiap kata. “Tiap-tiap
perkataan mesti kena tempatnya dan nyata arti dan perasaan yang
dikemukakannya.[22] Dalam puisi baru … yang terpenting ialah perasaan
dan pikiran yang masing-masing melahirkan bentuknya sendiri, yang sesuai
benar tentang ikatan, pilihan kata, susunan kalimat dan irama dengan
perasaan dan pikiran itu.”[23]
Selain Alisjahbana yang gencar sekali menyuarakan semangat
kesusastraan baru,[24] beberapa penulis lain, di antaranya, Armijn Pane,
Amir Hamzah, Sanusi Pane, Hoesein Djajadiningrat, Soewandhi, J.E
Tatengkeng, juga mencoba membuat rumusan, kriteria, dan ciri-ciri
tentang berbagai aspek kesusastraan. Dengan kata lain, para penulis itu
secara sadar berusaha pula membincangkan persoalan “teori sastra”.
Armijn Pane dalam artikelnya “Kesoesasteraan Baroe”[25] mengungkapkan
panjang lebar mengenai ciri-ciri kesusastraan Indonesia baru dan
peranan pujangga (sastrawan) dalam membangun bangsanya. Meskipun artikel
itu tidak secara langsung membicarakan teori sastra, setidak-tidaknya
ada usaha Armijn Pane untuk menempatkan kedudukan sastrawan dalam
masyarakat dan menyodorkan semacam kriteria, bagaimana seorang sastrawan
menyampaikan gagasannya secara jujur, sesuai dengan hati nuraninya.
“Seorang hamba seni jang sejati adalah hamba soekmanja…. Djadi bagaimana
djoea, jang menjanji dalam sadjak, dalam gambaran seorang hamba seni
jang sedjati, ialah soekmanja. Seorang hamba seni hidoep dalam
masjarakat, djadi seorang achli masjarakat itoe. Ia adalah anak kepada
masjarakat itoe, ia adalah gambaran dari pada masjarakat itoe.”[26]
Dalam hubungan itulah, sastrawan tidak dapat melepaskan dirinya dari
tanggung jawab sosialnya. Ia dapat dipandang mewakili masyarakat,
mewakili kebudayaan dan daerahnya, juga mewakili semangat zamannya.
“Setiap masjarakat lain seninja, setiap waktoe lain seninja.”[27]
Bukankah hal itu pula yang dikatakan Rene Wellek dan Austin Warren,
bahwa sastra sering dianggap sebagai potret sosial dan mengungkapkan
semangat zamannya. “Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat”
(literature is an expression of society).[28]
Selain membicarakan hubungan sastrawan dengan masyarakat, Armijn Pane
juga menyampaikan beberapa ciri puisi baru yang menurutnya merupakan
bentuk baru dari pantun. “Peodjangga baroe boekan hanja memindjam dari
bangsa asing[29] akan menimboelkan vorm baroe, tetapi kami djoega
membaroekan vorm jang lama soepaja sesoeai, sehidoep dengan semangat
baroe.” Untuk mendukung pernyataannya itu, Armijn juga menyampaikan
beberapa ulasan atas puisi-puisi yang muncul pada masa itu. Berikut ini
akan dikutip ulasan Armijn Pane yang mengambil contoh kasus sebuah puisi
karya Imam Soepardi yang dimuat Soeara PBI, Oktober 1932.
Kalau tidak karena sinar boelan
Tidaklah malam terang tjuatja
Beta termenoeng
Karena bingoeng
Kalau tidak karena kesadaran
Tidaklah kira, poetra bekerdja
Beta berloetoet
Ingin bersoedjoet
Dengan sepandang mata soedah kita ketahoei bahwa ini boekan pantoen,
tetapi waktoe membatjanja, tiadalah tersingkirkan perasaan dari pada
kita, bahwa ini jalah pantoen. Ritmenja, perasaannja, semangatnja sama
dengan pantoen.
Itulah yang dimaksud Armijn Pane sebagai vorm baru, bentuk baru, yang
membedakannya dengan pantun. Bukankah yang dilakukan Armijn Pane ini
sebagai usaha untuk mengungkapkan ciri-ciri puisi baru dan merumuskan
bentuknya sebagai gambaran dari semangat sastrawan pada masa itu? Dalam
kerangka pemikiran Barat, bukankah itu termasuk sebagai bagian dari
pembicaraan teori sastra?
Artikel lain yang juga memperlihatkan semangat untuk merumuskan
kekhasan ciri-ciri kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan
kesusastraan Barat, dilakukan Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat.
Pada peringatan 9 tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi,
Hoesein Djajadiningrat menyampaikan pidatonya yang bertajuk “Arti
Pantoen Melajoe jang Gaib.”[30]
Selain menyatakan keheranannya atas pandangan G.H. Werndly yang tidak
menyinggung pantun dalam pembicaraannya mengenai sajak dalam bahasa
Yunani dan Arab dan memperbandingkannya dengan persajakan Melayu,
Hoesein Djajadiningrat juga menolak beberapa pendapat tentang pantun
yang dikemukakan William Marsden, John Crawfurd, serta dua sarjana
Belanda, W.R. van Hoevell dan L.K. Harmsen.. Menurutnya, Werndly telah
salah menyebutkan “Pantun Speelman” sebagai “Syair Speelman”, sedangkan
kekeliruan John Crawfurd terletak pada anggapannya yang menyebutkan
pantun sebagai teka-teki. Adapun penolakan Djajadiningrat atas pendapat
dua sarjana Belanda menyangkut isi pantun yang dalam dua baris
pertamanya dikatakan sebagai “memberi keterangan yang bukan-bukan.”
Hal yang juga penting yang dilakukan Djajadiningrat adalah usahanya
melacak asal-usul kata pantun. Menurutnya, kata pantun berasal dari
perubahan kata paribahasa menjadi paribasan. Kata pari dalam bentuk yang
lebih dihaluskan lagi kemudian menjadi pantun. Arti kata itu sendiri
adalah umpama, seloka, paribahasa atau kiasan. Jadi, pantun adalah
“suatu kuplet yang sebagian mengandung kiasan atau sesuatu yang kurang
terang, yang dijelaskan oleh bagian yang lain, tiada peduli apa isinya,
meskipun telah selayaknya kiasan yang dipakai demikian mempunyai
semangatnya sendiri.”[31] Ia juga menyebutkan ciri-ciri yang melekat
pada pantun, yaitu terdiri dari empat baris, tiap baris terdiri dari
empat kaki, dan tiap kaki terbagi dua atau tiga suku kata dengan pola
persajakan a-b-a-b. Sifatnya khas, karena setelah dua baris pertama,
sekonyong-konyong datang perubahan arti kata-kata. Sementara inti
pesannya terletak pada dua baris terakhir, yaitu isi suatu
klanksuggestie,[32] yaitu bunyi yang memberi penunjuk bagi kedua baris
yang akhir.
Ringkasnya, Djajadiningrat menegaskan bahwa pandangan para sarjana
Barat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya
tidak lain dari persajakan Barat. Dengan membandingkan pantun dengan
parikan dan wangsalan Jawa atau sisindiran dan wawangsalan Sunda,
disimpulkan bahwa pantun merupakan puisi khas Melayu yang ciri-cirinya
tidak akan dijumpai dalam sajak-sajak Barat. Oleh karena itu, pemahaman
ciri-ciri sebuah kuplet disebut pantun atau syair dan syarat-syarat yang
menyertainya penting artinya untuk menempatkan kekhasan pantun sebagai
bentuk persajakan Melayu yang berbeda dengan bentuk persajakan lainnya.
Dalam Poedjangga Baroe, No. 9, Th. II, Maret 1934, Amir Hamzah juga
membicarakan “Pantoen”.[33] Isinya, meski tidak seluas artikel Hoesein
Djajadiningrat, menegaskan kembali kekhasan pantun sebagai bagian dari
kekayaan kebudayaan Indonesia. “… bentoek pantoen Indonesia jang biasa
itoe ja’ni, bahwa ia terdjadi dari empat baris dan doe baris jang
diatas itoe pada sekali pandang tiada bersangkoet paoet dengan doea
boeah kalimat jang dibawah. Inilah kegandjilannja pantoen Indonesia.”
Seperti Djajadiningrat, Amir Hamzah juga mengingatkan, bahwa untuk
memahami pantun, “hendaklah kita mengetahoei kehidoepan pikiran serta
kesoesasteraan anak Indonesia, maka baharoelah moengkin kita menerangkan
sangkoet paoet kalimat pantoen itoe.” Dengan perkataan lain, usaha
untuk memahami pantun hanya mungkin dapat dilakukan lebih tepat jika
pendekatannya berdasarkan ruh kebudayaan Indonesia sendiri.
Kritik terhadap pandangan para peneliti Barat terhadap pantun, juga
dilakukan Intojo.[34] Mengingat begitu banyak terjadi kesalahpahaman
dalam memahami pantun, Intojo mengingatkan:
… karena itu bangsa Indonesia mempunjai hak sepenuhnja untuk
membanggakan tjiptaan nasionalnja: pantun ketjil jang memantjarkan
keindahan jang halus dan menarik; jang mengandung gugusan asosiasi,
lambang dan langgam aneka-ragam, jang bersilih-ganti bersahadja dan
djelita. Karena itu orang Indonesiaberhak mengharap dari kawan-kawannja
bangsa Eropah, supaja mereka menjelidiki pantun itu dan beladjar
memahaminja lebih baik dari jang sudah; berbareng dengan itu orang
Indonesia berkewadjiban membantunja dalam pekerdjaan jang tidak gampang
itu.[35]
Dengan mengutip karangan seorang sarjana Italia, Dr. Giacomo
Prampolini yang meneliti pantun dan membandingkannya dengan puisi-puisi
berbagai bangsa, Intojo menolak anggapan bahwa pantun: hasil improvisasi
(karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan).
Menurut Intojo, amoreus justru bukan sifat umum pantun, mengingat ada
juga pantun anak-anak, pantun orang tua, dan pantun nasihat yang sama
sekali tidak amoreus. Kekeliruan itu terjadi karena pantun dianggap sama
dengan persajakan di belahan bumi yang lain yang menggunakan pola
a-b-a-b. Jadi, menurut Prampolini, setiap sajak yang berpola a-b-a-b
dapatlah dikatakan sebagai pantun.
Uraian Intojo selanjutnya menegaskan bahwa bagaimanapun juga, pantun
memang memperlihatkan bentuk persajakan yang khas Melayu (Indonesia)
yang justru tidak tidak terdapat dalam persajakan lain di dunia ini.
Adanya kemiripan, tidaklah berarti sama persis atau identik. Dalam hal
ini, menurut Intojo, pantun memang lahir dari tradisi kebudayaan Melayu
(Indonesia). Oleh karena itu, ia punya kekhasannya sendiri yang
membedakannya dengan puisi dalam kesusastraan bangsa lain.
Mencermati artikel-artikel tentang pantun yang ditulis Hoesein
Djajadiningrat, Amir Hamzah, dan Intojo, tampaklah bahwa ketiganya
secara tegas menolak pandangan keliru tentang pantun yang ditulis para
sarjana Barat. Pertanyaannya kini: bukankah yang dilakukan ketiga
penulis itu menyangkut kritik dan teori sastra, khasnya teori tentang
pantun? Mengingat pantun menunjukkan kekhasan persajakan Melayu,
bolehlah kiranya kita mengatakan, bahwa pembicaraan dalam ketiga artikel
itu merupakan bagian dari pembicaraan teori sastra, khasnya mengenai
teori sastra tentang pantun Melayu?
***
Penulis lain yang membincangkan masalah teori sastra, terutama yang
muncul dalam majalah Poedjangga Baroe, antara lain, Sanusi Pane,[36]
Soewandhi,[37] Armijn Pane,[38] Amir Hamzah,[39] dan teristimewa
Alisjabahana.[40] Di antara para penulis zaman Pujangga Baru itu,
Alisjahbana yang paling gencar menawarkan gagasan tentang konsep puisi
baru. Menurutnya, “letak sari pembaroean poeisi Indonesia adalah
hidoep-saktinja kembali perasaan, kembalinja poeisi kepada asalnja,
jaitoe djiwa bernjanji.”[41]
Melalui pembicaraan sejumlah puisi yang muncul pada masa itu,
Alisjahbana menyimpulkan ciri-ciri umum puisi Indonesia, yaitu: (1)
kuatnya suara sukma penyair yang disebutnya dengan frase: djiwa
bernjanji. (2) Lirik sebagai curahan kalbu individu penyair. Oleh karena
itu juga bersifat individualisme. (3) Munculnya berbagai macam bentuk
aliterasi. (4) Kecenderungan kuatnya insiatif penyair untuk memanfaatkan
pilihan kata yang tepat. (5) Kecenderungan pengungkapan alam sebagai
sumber inspirasi penyair. Meskipun beberapa ciri yang dilihat
Alisjahbana menunjukkan adanya kesamaan dengan ciri-ciri romantisisme,
tidaklah berarti kesamaan itu identik. Ciri individualisme dan
pemanfaatan alam sebagai sumber inspirasi, misalnya, dikatakannya tidak
dalam kerangka individualisme yang mementingkan diri pribadi. Dalam hal
ini, individualisme yang dimaksud Alisjahbana sebatas pada kekhasan
pribadi style penyair yang tercermin dalam karyanya. Sedangkan dalam
kehidupan kemasyarakatan, seorang penyair tetap dituntut untuk memberi
pencerahan kepada masyarakat. Jadi, ia menolak pendirian seni untuk
seni, dan menganjurkan pendirian seni untuk masyarakat.[42]
Sementara mengenai pengungkapan alam sebagai sumber inspirasi bagi
penyair didasarkan pada pandangan bahwa kekayaan alam Indonesia telah
banyak memberi inspirasi atau ilham kepada para penyair, dan bukan
lantaran para penyair itu prihatin pada eksploitasi alam, sebagaimana
yang terjadi di Eropa. Dengan demikian, alam sebagai sumber inspirasi
penyair Indonesia, justru dalam konteks pengagungan, dan bukan
didasarkan pada keprihatinan atas keserakahan manusia memanfaatkan alam.
Demikianlah, para sastrawan zaman Pujangga Baru telah berusaha
merumuskan sejumlah konsep atau pengertian yang menurut pengertian Rene
Wellek dan Austin Warren, bukankah itu termasuk ke dalam pembicaraan
teori sastra. Bahkan di antaranya, sebagaimana yang telah dilakukan
Sutan Takdir Alisjahbana, mencoba pula mencari dan menyodorkan
estetika puitik terhadap kecenderungan karya-karya sastra, terutama
puisi, yang muncul pada masa itu. Pertanyaannya kini: dapatkah
tulisan-tulisan itu dimasukkan ke dalam pembicaraan kritik dan teori
sastra? Bukankah tulisan-tulisan itu juga menyangkut penyelidikan
tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengertian sastra, hakikat,
jenis, dasar-dasar, kriteria dan berbagai hal tentang itu. Begitu juga
apa yang dilakukan Alisjahbana tentang puisi dan Hoesein Djajadiningrat
dan Intojo tentang pantun, bukankah pembicaraan yang demikian itu
termasuk studi prinsip-prinsip sastra, kategori-kategori, kriteria, dan
sejenisnya yang kemudian menghasilkan konsep umum yang berlaku dalam
puisi Indonesia masa itu dan konsep umum tentang pantun?
***
Pada zaman pendudukan Jepang (1942—1945), semua kegiatan sastra dan
budaya dan semua yang berkaitan dengan kegiatan publikasi, berada di
bawah pengawasan Jawa Syimbun Kai, sebuah lembaga sensor pemerintah
pendudukan Jepang yang bertanggung jawab atas segala kegiatan yang
bersangkutan dengan penerbitan dan pementasan. Dengan begitu, gagasan
dan pemikiran mengenai konsepsi sastra dan berbagai hal yang berkaitan
dengan itu, juga berada di bawah pengawasan lembaga itu.[43] Meskipun
pada masa itu, dalam beberapa suratkabar dan majalah, seperti harian
Asia Raja dan majalah Djawa Baroe, kita masih dapat menjumpai
artikel-artikel yang membicarakan karya sastra konkret (kritik sastra)
atau konsepsi sastra (teori sastra) menurut kepentingan pemerintah
pendudukan Jepang, pengaruhnya bagi usaha merumuskan konsepsi sastra
sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Pujangga Baru, dapat
dikatakan tidaklah cukup signifikan. Oleh karena itu, usaha melihat
perkembangan teori sastra pada zaman Jepang, agak payah dilakukan.
Walaupun begitu, apa yang dilakukan H.B. Jassin yang berusaha memetakan
kesusastraan pada zaman Jepang, sedikit banyak cukup membantu kita untuk
memahami model estetik sastra Indonesia pada masa itu.[44]
***
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an, pembicaraan mengenai konsepsi
(:teori) sastra semarak kembali setelah pada tahun 1947, terbit majalah
mingguan Siasat dan Mimbar Indonesia. Pada bulan Maret 1948, majalah
mingguan Siasat membuka ruangan kesusastraan “Gelanggang” yang
mencerminkan semangat para pengelola rubrik ini untuk mengusung sikap
kulturalnya.[45] Pada awalnya fokus pembicaraan dalam sejumlah artikel
yang dimuat dalam ruangan “Gelanggang” berkisar pada konsepsi estetik
Generasi Gelanggang. Penamaan Generasi Gelanggang sendiri pada akhirnya
kalah populer setelah muncul penamaan Angkatan 45.[46] Konsepsi estetik
Angkatan 45 inilah yang kemudian hampir mendominasi perbincangan
kesusastraan Indonesia pada masa itu.
Dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950, dimuat sebuah dokumen penting
yang diberi nama “Surat Kepercayaan Gelanggang” yang bertarikh 18
Februari 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang inilah yang kemudian
dipandang sebagai sikap dan dasar konsepsi estetik Angkatan 45. Jassin
kemudian menafsirkan dan merumuskan konsepsi itu dengan apa yang
disebutnya konsep humanisme—universal. Dalam penjelasannya, Jassin
mengungkapkan: “Angkatan 45 tidak mengabdi kepada sesuatu isme, tapi
mengabdi kepada kemanusiaan yang mengandung segala yang baik dari
sekalian isme… Angkatan 45 mempunyai konsepsi humanisme universal.[47]
Penamaan Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universal itu ternyata
bukan tanpa masalah. Paling tidak, setelah Lembaga Kebudayaan Rakyat
(Lekra) –sebuah lembaga kesenian yang berada di bawah Partai Komunis
Indonesia (PKI) berdiri 17 Agustus 1950, penentangan terhadap penamaan
Angkatan 45 dengan konsepsi humanisme universalnya, gencar dilakukan
oleh golongan sastrawan Lekra yang mengusung humanisme proletariat. Bagi
Lekra, kebudayaan –termasuk di dalamnya kesusastraan—haruslah berpihak
kepada rakyat. Dengan demikian, kesenian pun harus berpihak kepada
rakyat.
Terjadinya polemik antara kelompok Angkatan 45 dan golongan Lekra
pada awalnya justru memberi sumbangan berarti bagi usaha-usaha perumusan
konsep-konsep sastra yang dalam kerangka kritik sastra dapatlah
dimasukkan sebagai pembicaraan teori sastra. Kondisi itu bertambah
semarak saat muncul majalah-majalah kesusastraan. Maka, berbagai
pemikiran mengenai teori sastra telah berkembang semarak pada masa itu.
Dalam majalah Indonesia,[48] misalnya, banyak dimuat berbagai artikel
mengenai konsep-konsep sastra, seperti hubungan sastra dan politik,
definisi dan konsep sastra, masalah angkatan, kriteria sastra
pornografi, sastra bertendens, tanggung jawab sosial sastrawan,
keindahan dan kebaruan dalam sastra, dan sejumlah artikel lain yang
mencoba memberi penjelasan atas berbagai hal yang berkaitan dengan
kesusastraan.[49] Puncak pertentangan itu terjadi tahun 1965, ketika
Lekra bersama organ PKI lainnya melakukan serangan dan teror terhadap
para penanda tangan Manifes Kebudayaan yang mendukung konsep humanisme
universal. Itulah masa khaos sastra Indonesia.
***
Pembicaraan mengenai teori sastra, mulai marak kembali setelah kritik
dan teori sastra menjadi bahan pengajaran di fakultas sastra.
Pengajaran teori dan kritik sastra dalam pengertian kritik ilmiah di
Indonesia, seperti dimulai kembali.
Terjadinya kekacauan dalam kehidupan sastra Indonesia awal tahun 1960
sampai tahun 1965, menyadarkan kaum akademi bahwa campur tangan politik
dalam kehidupan kesusastraan dan kebudayaan, telah berdampak sangat
buruk.[50] Anggapan bahwa penilaian terhadap sastra hanya boleh
dilakukan berdasarkan ideologi politik, seperti yang dilakukan sastrawan
Lekra,[51] ternyata telah melahirkan kritik tanpa kriteria dan ukuran.
Kritik jadinya seperti caci-maki karena tak ada teori yang digunakan
sebagai landasan. Penilaian terhadap karya sastra menjadi relatif dan
subjektif. Akibatnya terjadi kekacauan dalam kehidupan kesusastraan
Indonesia secara keseluruhan.[52] Maka, agar sastra Indonesia dapat
tumbuh dan berkembang secara sehat, kritik sastra harus dipisahkan dari
kepentingan politik. Ia juga harus didasarkan atas landasan teori untuk
menghasilkan penilaian yang objektif sebagai bentuk pertanggungjawaban
ilmiahnya.
Sementara itu, praktik kritik sastra yang ditulis sastrawan cenderung
menekankan pada kesan subjektif, tanpa menggunakan teori atau ukuran
dan kriteria tertentu. Dalam hal ini, berlaku pula anggapan “sepuluh
kritikus akan menghasilkan sepuluh penilaian”.
Itulah beberapa masalah yang melatarbelakangi lahirnya kesadaran
untuk mencari identitas dan ukuran yang jelas dalam kritik dan teori
sastra. Guna mencapai tujuan itu, diselenggarakan Simposium Bahasa dan
Kesusasteraan Indonesia, 27 Oktober 1966, yang melibatkan peneliti dan
sastrawan. Kegiatan serupa diselenggarakan lagi dalam rangka peringatan
penyair Chairil Anwar, 30 April 1967.[53] Selepas terjadi perbalahan
mengenai kritik sastra yang diwakili kelompok sastrawan dan peneliti
sastra yang diselenggarakan 31 Oktober 1968, perbincangan kritik dan
teori sastra menjadi isu penting.[54]
Selepas terjadi polemik antara pendukung kritik ilmiah atau kritik
akademis (Aliran Rawamangun) dan pendukung kritik sastra melalui metode
ganzheit (Metode Kritik Ganzheit),[55] teori-teori sastra Barat terus
mengalir memasuki institusi-institusi pendidikan. Sejak simposium tahun
1968 itu, pengajaran kritik dan teori sastra di FSUI sendiri mulai
mendapat perhatian serius dengan mencoba merumuskan prinsip dan ukuran
yang boleh digunakan di dalam menilai karya sastra. Sejak itu pula,
pengajaran kritik sastra di dalamnya mencakupi pembicaraan teori sastra.
Secara eksplisit, dasar pijakan kritik sastra Aliran Rawamangun
berlandasan pemikiran strukturalisme, seperti dikatakan Hutagalung.
Pusat perhatian utama adalah karya itu sendiri (ergosentris). Maksudnya
menempatkan karya sastra sebagai objek kajian. Dengan demikian, maka
posisi karya sastra tidak lagi digeser oleh aspek eksternal di luar
karya sastra tersebut.
Strukturalisme dan Aliran Kritik Baru (New Criticism) jelas berada di
belakang pemikiran Aliran Rawamangun. Meski begitu, para pendukungnya
tidak menunjukkan kesamaan sikap dalam menempatkan otonomi sastra dalam
hubungannya dengan pengarang. Kritik Jassin, cenderung apresiatif dengan
tetap menempatkan keberadaan dan latar belakang pengarang sebagai hal
yang penting di dalam usaha memahami karya.[56] Hutagalung masih merasa
perlu menggunakan ilmu lain (psikologi) untuk menganalisis karya
sastra,[57] dan menempatkan pengarang sebagai bagian penting dalam
memahami karya sastra.[58] Hal yang sama dilakukan Boen S. Oemarjati[59]
dan J.U. Nasution.[60] Sementara Saleh Saad di dalam kuliah-kuliahnya
selalu menekankan agar kritikus tidak berhubungan dengan pengarang jika
ia hendak memahami sebuah karya. Jadi, di antara para pendukung Aliran
Rawamangun, Saleh Saad yang secara tegas menempatkan karya sastra
sebagai kenyataan otonom dan menolak menghubungkannya dengan
pengarang.[61]
Tak dapat dinafikan pengaruh Aliran Rawamangun dalam pengajaran teori
dan kritik sastra di berbagai universitas di Indonesia. Dengan begitu,
teori-teori sastra Barat juga terus mengalir ke berbagai institusi
pendidikan. Ada beberapa hal yang mendukung kuatnya pengaruh Aliran
Rawamangun ini.
Pertama, adanya penataran-penataran sastra yang diselenggarakan atas
kerja sama FSUI dan Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa yang
pesertanya berasal dari berbagai universitas di Indonesia, telah ikut
mempercepat penyebaran pengaruh aliran ini.
Kedua, dimasukkannya mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu
bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra di Indonesia,
telah mengharuskan semua institusi (Fakultas Sastra di berbagai
universitas di Indonesia) menyertakan kuliah kritik sastra. Dalam hal
ini, mata kuliah kritik sastra menjadi salah satu mata kuliah wajib yang
berlaku dalam kurikulum nasional.
Ketiga, diterbitkannya sejumlah skripsi (tugas akhir kesarjanaan)
ikut pula mendukung dan mengukuhkan pengaruh kritik sastra Aliran
Rawamangun.
Keempat, adanya penyeragaman istilah-istilah di bidang sastra, makin
meluaskan penyebaran pengaruhnya.[62] Dalam hal itu, sumbangan Aliran
Rawamangun, penting artinya dalam merumuskan istilah sendiri, meski
dasar pemikirannya dari teori Barat.
***
Kini perkembangan teori sastra di Indonesia seperti menyerap begitu
saja teori-teori sastra dari Barat. Sebutlah, semiotik, feminisme dan
gender, sampai sastra populer, cultural studies[63] dan New
Historicism.[64] Ada dua hal yang diabaikan: Pertama, sejarah perjalanan
pemikiran sastra, di dalamnya tentu saja berkaitan dengan persoalan
konsepsi dan rumusan teoretis. Kedua, pemikiran yang berkembang dan
tercecer di berbagai media massa. Akibatnya, sejak Aliran Rawamangun
memperkenalkan Kritik Baru Amerika dan strukturalisme, teori dan kritik
sastra Indonesia seperti berjalan tanpa sejarah.
Sementara institusi pendidikan seperti tersihir mengagumi teori
sastra Barat, kita sendiri memang tak dapat mengabaikan keberadaan dan
kontribusinya. Meski begitu, membutatulikan diri pada usaha-usaha yang
telah dicoba oleh para pemikir kita, juga tidaklah elok. Oleh karena
itu, sambil kita mempelajari segala teori sastra dari Barat itu,
seyogianya kita juga membuka sejarah dan pemikiran yang tercatat dalam
berbagai media massa. Siapa tahu, dari tumpukan sejarah dan ceceran
lembaran majalah dan surat kabar, kita menemukan teori sastra yang khas
milik bangsa sendiri, seperti yang ditunjukkan Hoesein Djajadiningrat,
Amir Hamzah, dan Intojo mengenai pantun.
Dengan demikian, pengenalan teori dan kritik sastra Barat itu,
sekadar alat yang boleh digunakan dalam mengenalisis karya-karya sastra
Indonesia. Jika tidak cocok, tentu saja kita boleh menggunakan teori
lain yang lebih tepat, atau kita cobakan teori yang kita rumuskan
sendiri. Paling tidak, usaha-usaha ke arah itu memang sudah pernah
dilakukan.
Demikianlah gambaran umum perjalanan sejarah teori dan kritik sastra Indonesia.
Mkl/teori-sastra/msm/28/11/02
Makalah Persidangan Teori dan Pemikiran Melayu, “Menjana Tamadun
Melayu” diselenggarakan Dewan Bahasa dan Pustaka Wilayah Selatan Johor
Bahru bekerja sama dengan Institut Pendidikan Nasional Universiti
Nanyang Singapura dan Dinas Pendidikan Tanjung Balai Karimun, Riau,
12—14 Desember 2002.
CATATAN KAKI
[1]Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature (New York:
Harcourt, Brace and Company, 1955, hlm. 27), menyebutnya dengantheory
of literature sesuai judul bukunya. Istilah literary theory digunakan
juga Rene Wellek dalam “Literary Theory, Criticism, and History,”
Concepts of Criticism (New Haven and London: Yale University Press,
1967), hlm. 1—20. Boleh jadi istilah ini digunakan untuk memberi tekanan
yang sama penting pada tiga bidang ilmu sastra, yaitu teori sastra
(literary theory), sejarah sastra (literary history), dan kritik sastra
(literary criticism). Dalam istilah yang berbeda, M.H. Abrams (A
Glossary of Literary Terms, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1981,
hlm. 35) menyebutnya dengan theoretical criticism untuk membedakannya
dengan criticism. Istilah yang juga digunakan C. Hugh Holman &
William Harmon (A Handbook to Literature, New York: Macmillan
Publishing Company, 1980, hlm. 502).
[2]Dalam diskusi dan kuliah kritik sastra, misalnya, buku Ann
Jefferson & David Robey (Ed.), Modern Literary Theory, (London:
Batsford, 1982), dan Terry Eagleton, Literary Theory, (Oxford: Basil
Blackwell, 1983), menjadi buku wajib, berdampingan dengan buku Paul
Hernadi,What is Criticism (Bloomington: Indiana University Press, 1981),
buku David Lodge (Ed.), 20th Century Literary Criticism (London:
Longman, 1985), dan buku Rene Wellek, Concepts of Criticism (New Haven
and London: Yale University Press, 1967). Dalam hal ini, pengertian
kritik sastra di dalamnya mencakupi juga teori sastra.
[3]Wilfred L Guerin, et al (A Handbook of Critical Approaches to
Literature, New York: Harper & Row Publishers Inc., 1979), misalnya,
menguraikan sejumlah pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian
sastra. Di dalamnya disebutkan adanya pendekatan formalistik, psikologi,
sosiologi, strutktural, dan feminisme. Jadi, kritik sastra digunakan
sebagai alat (pendekatan) untuk melakukan penelitian sastra.
[4]Teori kritik sastra adalah istilah yang digunakan Rachmat Djoko
Pradopo untuk menyebut kritik sastra teoretis (theoretical criticism),
sekaligus untuk membedakannya dengan kritik praktik (practical
criticism) atau kritik terapan (applied criticism).
[5]Subagio Sastrawardoyo, “Mencari Jejak Teori Sastra Sendiri,”
Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), hlm. 53.
[6]Umar Junus, “Teori Sastra dan Kreativitas Sastra,” Mitos dan Komunikasi (Jakarta: Sinar Harapan, 1981) hlm. 8—9.
[7]Istilah ilmu sastra mula diperkenalkan A. Teeuw dalam
ceramah-ceramahnya mengenai berbagai penelitian sastra –termasuk teori
sastra— di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Universitas Gadjah
Mada dan pada penataran di Tugu tahun 1977. Sebelum itu bidang ini masih
sering disebut penelitian sastra atau studi sastra sebagaimana yang
digunakan William Henry Hudson (An Introduction to the Study of
Literature, London: George G. Harrap, 1922) atau teori sastra jika
mengacu pada buku Rene Wellek dan Austin Warren (Theory of Literature,
New York: Harcourt, Brace and Company, 1955). Dengan mengambil model
penelitian bahasa yang disebut ilmu bahasa atau penelitian terhadap
aspek kesenian atau ilmu seni dan estetika, maka bidang yang
membicarakan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra dalam
kerangka kegiatan ilmiah dikatakanlah sebagai ilmu sastra.
Tulisan-tulisan A. Teeuw itu disusun kembali lebih komprehensif yang
kemudian diberi tajuk, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
Meskipun demikian, jauh sebelum itu, Amir Hamzah dalam artikelnya,
“Kesoesasteraan” (Poedjangga Baroe, No. 12, Djoeni 1934, hlm. 363,
dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat,
1982, hlm. 21) memakai istilah “ilmu sastra” dalam konteks kekayaan
khazanah kesusastraan Indonesia. Sementara Sutan Takdir Alisjahbana
dalam artikel “Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” (Poedjangga
Baroe, Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938, hlm. 43—60, dimuat
juga dalam Sutan Takdir Alisjahbana,Perjuangan Tanggung Jawab dalam
Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 49—67) menyebut
kesusastraan sebagai cabang seni, dan ilmu kesusastraan telah berusaha
merumuskan berbagai definisi tentang seni puisi. Jadi, istilah “ilmu
sastra” atau “ilmu kesusastraan” menurut Sutan Takdir Alisjahbana, telah
muncul sejak zaman Pujangga Baru, meskipun pada masa itu, belum ada
kejelasan wilayah cakupan serta rumusan atau definisi mengenai beberapa
konsep dan istilah di dalam kesusastraan.
[8]Rene Wellek dan Austin Warren, Theory of Literature (New York:
Harcourt, Brace and Company, 1955), hlm. 27. Lihat juga, Rene Wellek,
“Literary Theory, Criticism, and History,” Concepts of Criticism (New
Haven and London: Yale University Press, 1967), hlm. 1—20.
[9]Ibid.
[10]D.W. Fokkema & Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua
Puluh, terj. J. Praptadiharja & Kepler Silaban (Jakarta: Gramedia,
1998), hlm. 12.
[11]Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
[12]Subagio Sastrowardoyo, “Keterlambatan Kita dalam Teori Sastra,”
Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan (Jakarta: Balai Pustaka,
1989), hlm. 44.
[13]Ibid., hlm. 45.
[14]Dalam Nomor Peringatan Poedjangga Baroe 1933—1938 yang antara
lain memuat artikel Soetan Sjahrir, “Kesoesasteraan dan Ra’jat,”
Soewandhie, “Masjarakat dan Bahasa,” Sutan Takdir Alisjahbana,
“Kesoesasteraan di Zaman Pembangoenan Bangsa,” dan M. Amir, “Djiwa
Poedjangga,” tampak jelas bahwa mereka juga tidak dapat menghindar dari
pengaruh Barat. Beberapa konsep dan definisi mengenai sastra, puisi,
prosa, pujangga, mereka kutip dari sumber-sumber Barat, termasuk dari
karya William Henry Hudson, An Introduction to the Study of Literature,
London: George G. Harrap, 1922.
[15]Kritik sastra di Indonesia sesungguhnya sudah dimulai sejak awal
tahun 1932 ketika majalah Pandji Poestaka menyelenggarakan sebuah rubrik
yang bertajuk “Memadjoekan Kesoesasteraan”. Sutan Takdir Alisjahbana
tercatat sebagai salah seorang redaksinya. Dalam rubrik itu, Alisjahbana
mengulas puisi-puisi yang dikirim ke majalah itu. Di samping itu, ia
juga sering kali menyampaikan pandangannya mengenai pentingnya para
sastrawan untuk mengungkapkan gagasannya secara bebas, tanpa harus
terikat oleh bentuk-bentuk kesusastraan lama. Dalam Pandji Poestaka
edisi 5 Juli 1932, Th. X, misalnya, dimuat sebuah artikel berjudul
“Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel inilah yang pertama
secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik
sastra Indonesia. Dalam perjalanannya, selepas Alisjahbana keluar dari
majalah Pandji Poestaka dan bersama Amir Hamzah dan Armijn Pane
menumbuhkan majalahPoedjangga Baroe, tulisan-tulisan yang bersifat
kritik dan teori sastra, makin ramai bermunculan dalam majalah itu.
[16]Buku A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia (Ende: Nusa Indah, 1980),
misalnya, sama sekali tidak menyinggung karya-karya sastra yang
disiarkan majalah atau surat kabar. Akibatnya, banyak nama sastrawan
Indonesia yang luput dari pengamatannya dan tak tercatat dalam buku-buku
sejarah sastra Indonesia.
[17]Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung: Bina
Cipta, 1976), juga melakukan hal yang sama, yaitu tidak menyinggung
khazanah karya sastra dalam majalah atau suratkabar. Dalam hal ini, baik
Teeuw maupun Ajip Rosidi mengandalkan objek penelitiannya berdasarkan
karya-karya yang telah diterbitkan sebagai buku.
[18]Berdasarkan media dan cara pengungkapannya, kritik sastra dapat
dibagi ke dalam dua jenis kritik yaitu (1) kritik akademi atau kritik
ilmiah dan (2) kritik sastra umum. Kritik akademi secara ketat
menggunakan metodologi dan kerangka teori tertentu, sebagaimana yang
disyaratkan dalam penulisan skripsi atau karya ilmiah dan karya
kesarjanaan lainnya, sedang kritik umum yang memanfaatkan media massa
(surat kabar dan majalah) sebagai wadahnya lebih menekankan pada aspek
informasinya yang ditujukan kepada khalayak pembaca yang lebih luas.
Dalam kritik sastra umum, kadangkala konsep dan istilah-istilah teknis,
terpaksa harus disederhanakan, agar dapat dipahami masyarakat umum.
[19]Kritik sastra aliran Rawamangun adalah kritik sastra yang
menekankan segi ilmiah dalam penelitiannya. Kelompok peneliti sastra ini
sangat dipengaruhi oleh strukturalisme dan Kritik Baru Amerika (New
Criticism). Para pendukung aliran ini diwakili oleh J.U. Nasution, S.
Effendi, M. Saleh Saad, H.B. Jassin, M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati,
dan Lukman Ali. Yang dimaksud kelompok peneliti sastra ini adalah
dosen-dosen FSUI dan peneliti di Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa. Karena gedung kampus FSUI waktu itu letaknya bersebelahan dengan
gedung Pusat Bahasa di kawasan Rawamangun, Hutagalung kemudian
menyebutnya sebagai “Aliran Rawamangun”.
[20]Dimuat kembali dalam Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan
Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm.
16—48.
[21]Ejaan dalam kutipan ini disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia
yang disempurnakan. Tampak di sini, Alisjahbana mencoba mendefinisikan
konsep puisi. Menurut definisi sastra secara umum, rumusan Alisjahbana
itu dapat dimaknai sebagai “gagasan yang lahir berdasarkan pengalaman
–langsung atau tidak—ditambah imajinasi yang kemudian diungkapkan dengan
bahasa sebagai medianya. Jadi, yang dimaksud perkataan menurut
Alisjahbana, dapat dimaknai sebagai “bahasa sebagai medianya.”
[22]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Baru dan Lama,” Perjuangan
Tanggung Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm.
36. Dalam artikelnya yang berjudul “Puisi Baru sebagai Pancaran
Masyarakat Baru,” yang dijadikan semacam pendahuluan buku Puisi Baru
Jakarta: Dian Rakyat, 1975; Cet. 1: 1946), Alisjahbana mengemukakan,
bahwa terjadinya pertemuan antara bangsa Indonesia dengan bangsa Eropa,
telah membawa perubahan besar dalam cara pandang dan sikap masyarakat,
termasuk cara pengungkapan dalam puisi. Itulah salah satu ciri yang
kemudian membedakan puisi lama dan puisi baru.
[23]Sutan Takdir Alisjahbana, “Puisi Lama dan Puisi Baru,” Poedjangga
Baroe, Djoeli—Agoestoes 1940. Dimuat juga dalam Perjuangan Tanggung
Jawab dalam Kesusasteraan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, hlm. 79—82.
[24]Beberapa artikel Sutan Takdir Alisjahbana berikut ini
memperlihatkan betapa sesungguhnya Alisjahbana telah berusaha membuat
semacam teori sastra, khasnya yang berkaitan dengan ciri-ciri dan
kriteria kesusastraan baru. Adapun artikel-artikel yang dimaksud adalah
sebagai berikut: “Menoedjoe Seni Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 1, Th.
I, Djoeli 1933), “Tidak ada jang dinanti,” (Poedjangga Baroe, No. 3, Th.
I, September 1933), “Menghadapi Keboedajaan Baroe,” (Poedjangga Baroe,
No. 12, Th. I, Djoeni 1934), “Poeisi Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga
Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, dan 9, Th. II, September, Oktober, November,
Desember 1934, Januari dan Maret 1935, No. 1, Th. III, Djoeli 1935,
No. 9 dan 10, Th. III, Djanoeari dan Febroeari 1936, No. 3—4, Th. IV,
September—Oktober 1936, No. 10, April 1937).
[25]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[26]Ibid., hlm. 9—10.
[27]Ibid.
[28]Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 109—110.
[29]Yang dimaksud Armijn Pane dengan “memindjam dari bangsa asing”
adalah bentuk soneta yang digunakan Muhammad Yamin dan beberapa penyair
lainnya waktu itu.
[30]Dimuat secara bersambung dalam Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari—Maret 1934.
[31]Ibid., hlm. 197.
[32]Belakangan, ciri-ciri pantun dinyatakan terdiri dari empat baris
(larik) yang terbagi dalam dua bagian, yaitu dua larik pertama berupa
sampiran, dan dua larik terakhir berupa isi, yang menurut Hoesein
Djajadiningrat menyampaikan isi suatu klanksuggestie (citraan bunyi).
[33]Dimuat juga dalam Amir Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 49—59.
[34]Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. III, April dan Djuli 1952.
[35]Ibid., hlm. 55.
[36]Sanusi Pane, “Menghadapi Kolotisme,” Poedjangga Baroe, No. 3, Th.
I, September 1933. Artikel ini lebih menegaskan lagi dukungan sejumlah
intelektual Indonesia waktu itu atas penerbitan majalah Poedjangga Baru
sebagai salah satu sarana ekspresi bagi pujangga (sastrawan) baru.
[37]Soewandhi (“Mentjari Bentoek Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 10,
Th. I, April 1934) mengungkapkan terjadinya perubahan berkesenian di
Barat saat itu, juga terjadi di Indonesia. Menurutnya, semangat yang
melatarbelakangi Poejangga Baroe adalah semangat romantik angkatan 80-an
Belanda.
[38]Armijn Pane, “Kesoesasteraan Baroe,” Poedjangga Baroe, No. 1, 2, 3, 4, 5, Th. I, Djoeli—November 1933.
[39]Amir Hamzah, “Kesoesasteraan,” Poedjangga Baroe, No. 12, Th. I,
Djoeni 1934, No. 2, 3, 4, 5, 6, 7, Th. II, Agoestoes, September,
Oktober, November, Desember 1934, Djanuari 1935. Dimuat juga dalam Amir
Hamzah, Esai dan Prosa, Jakarta: Dian Rakyat, 1982, hlm. 21). Meski Amir
Hamzah membicarakan kesusastraan Indonesia dalam kerangka masuknya
pengaruh kesusastraan Timur ke Indonesia, paling tidak, Amir Hamzah
hendak menegaskan bahwa kesusastraan Indonesia tak dapat melepaskan diri
dari pengaruh-pengaruh kesusastraan India dan kesusastraan Timur
lainnya.
[40]Selain artikel-artikel yang telah disebutkan dalam catatan kaki
24, Alisjahbana secara khusus mencoba membuat semacam kajian estetik
puisi-puisi yang muncul pada zaman itu. Meski sesungguhnya yang dimaksud
puisi Indonesia zaman baru lebih merupakan harapan dan cita-cita
Alisjahbana sendiri yang begitu menggelora, dalam artikel “Poeisi
Indonesia Zaman Baroe,” (Poedjangga Baroe, No. 3, 4, 5, 6, 7, 9, Th. II,
1934, No. 1, Th. III, Djoeni 1935) –beberapa di antaranya pernah dimuat
dalam Pandji Poestaka—Alisjahbana mencoba melihat kecenderungan puisi
pada masa itu.
[41]Ibid., hlm. 79.
[42]Masalah seni untuk masyarakat dan seni untuk seni itulah yang
kemudian melahirkan polemik antara Alisjahbana dan Sanusi Pane.
Belakangan, masalah ini muncul kembali pada tahun 1960-an ketika Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat—Partai Komunis Indonesia) menganjurkan seni
untuk rakyat dan para penanda tangan Manifes Kebudayaan menolak
pendirian itu dan menganjurkan paham seni untuk seni.
[43]Maman S. Mahayana, “Sikap Pemerintah Jepang di Bidang Sastra dan
Budaya (1942—1945): Studi Kasus Harian Asia Raja” Laporan Penelitian
(tidak dipublikasikan). Depok: FSUI, 1994.
[44]Periksa Kata Pengantar dan Bagian Pendahuluan buku H.B. Jassin,
Kesusasteraan Indonesia dimasa Djepang (Djakarta: Balai Pustaka, 1948)
dan Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948). Dalam Kata Pengantar
dan Bagian Pendahuluan kedua buku itu, Jassin mengupas secara mendalam
kecenderungan estetik kesusastraan Indonesia pada zaman Jepang dan awal
kemerdekaan. Di samping itu, Jassin juga melihat perkembangan
kesusastraan Indonesia masa itu dengan membandingkannya dengan
kesusastraan zaman Pujangga Baru.
[45]Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang dikatakan
bahwa “Generasi Gelanggang” lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang
sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus
mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini.
Generasi ini hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah
mengakibatkan masyarakat yang lapuk dan berani menantang pandangan,
sifat dan anasir lama ini untuk menyatakan kekuatan baru. Lihat H.B.
Jassin, “Pendahuluan” Gema Tanah Air (Djakarta: Balai Pustaka, 1948),
hlm. 12.
[46]Penamaan Angkatan 45 pertama kali dilansir Rosihan Anwar dalam
majalah Siasat, 9 Januari 1949, sedangkan menurut Sitor Situmorang, nama
Angkatan 45 justru datang dari Chairil Anwar. Lihat Maman S. Mahayana,
Akar Melayu (Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 184—185.
[47]H.B. Jassin, Angkatan 45 (Djakarta: Balai Pustaka, 1951), hlm. 6.
[48]Majalah Indonesia pertama kali terbit Januari 1950. Majalah yang
terbit bulanan ini banyak memuat artikel yang membicarakan konsep sastra
dengan berbagai isu aktual mengenai kesusastraan.
[49]Pembicaraan agak lengkap mengenai polemik terhadap sejumlah
konsep kesusastraan dalam kaitannya dengan ideologi sastrawan dalam
kesusastraan Indonesia tahun 1950-an, periksa Maman S. Mahayana, Akar
Melayu, khususnya dalam pembicaraan Bab 4 “Konflik-konflik Ideologis”
(Magelang: Indonesia Tera, 2001), hlm. 181—239.
[50]Dalam tahun 1960–1965, kegiatan politik di Indonesia sudah sangat
mengganggu berbagai aspek kehidupan kemasyarakatan. Slogan “Politik
adalah Panglima” telah menempatkan kegiatan politik lebih penting
daripada kegiatan apapun juga. Akibatnya, lapangan kehidupan yang lain,
seperti ekonomi dan kebudayaan, termasuk di dalamnya kesusastraan,
mengalami kekacauan.
[51]Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah sebuah badan atau
organisasi kebudayaan, khasnya kesenian yang berada di bawah Partai
Komunis Indonesia (PKI). Dalam lapangan kesusastraan, Lekra menganjurkan
faham realisme sosialis. Menurut fahaman ini, kesusastraan harus
berpihak kepada rakyat. Oleh karena itu, Lekra menganut fahaman seni
untuk rakyat dan menentang fahaman seni untuk seni. Penelitian Yahaya
Ismail, Pertumbuhan, Perkembangan, dan Kejatuhan Lekra di Indonesia
(Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1972) mengungkapkan secara
lengkap mengenai masalah ini.
[52]Puncak kekacauan itu terjadi ketika Presiden Soekarno, pada
tanggal 8 Mei 1964 melarang Manifes Kebudayaan; sebuah pernyataan sikap
seniman dan budayawan Indonesia yang menentang keterlibatan politik
dalam lapangan kebudayaan dan kesenian. Mengenai pertentangan para
pendukung Manifes Kebudayaan dan golongan sastrawan Lekra, selain
penelitian Yahaya Ismail, lihat juga D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail,
Prahara Budaya (Bandung: Mizan, 1995). Periksa juga Maman S. Mahayana,
Akar Melayu (Magelang: Indonesiatera, 2001), hlm. 181–223.
[53]Lukman Ali (Ed.), Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1978), hlm. ix.
[54]Kelompok sastrawan diwakili Arief Budiman, Goenawan Mohammad,
Salim Said, dan beberapa sastrawan dari Dewan Kesenian Jakarta. Kelompok
peneliti sastra diwakili J.U. Nasution, S. Efendi, Saleh Saad, Jassin,
M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, dan Lukman Ali. Hutagalung, Op.
Cit., hlm. 16–18.
[55]Metode Kritik Ganzheit adalah sebuah metode kritik (seni) yang
diajukan Arief Budiman. Menurutnya, Metode Kritik Ganzheit merupakan
suatu proses partisipasi aktif dari sang kritisi terhadap karya seni
yang dihadapinya. Dalam hal ini, hubungan atara kritikus dengan karya
seni melahirkan pertemuan dialogis. Berdasarkan pengalaman estetik
terhadap karya seni, kritkus mengungkapkan pengalamannya itu. Lahirlah
sebuah kritik seni. Lebih lanjut, lihat Arief Budiman, “Metode Ganzheit
dalam Kritik Seni” (Horison, April 1968).
[56]Periksa H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I–IV (Jakarta: Gunung Agung, 1955, 1962, 1967.
[57]M.S. Hutagalung, Jalan tak ada Ujung: Mochtar Lubis (Jakarta: Gunung Agung: 1963).
[58]M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (Jakarta: Gunung Agung: 1967).
[59]Boen S. Oemarjati, Roman Atheis Achdiat Karta Mihardja: Suatu Pembicaraan (Jakarta: Gunung Agung, 1962).
[60]J.U. Nasution, Sitor Situmorang sebagai Penyair dan Pengarang Cerita Pendek (Jakarta: Gunung Agung, 1963).
[61]Belakangan diketahui, Saleh Saad sangat mendukung gagasan Roland
Barthes mengenai kematian pengarang (“The Death of the Author,” Roland
Barthes, Image-Music-Text. London: Routledge, 1977). Mengingat mata
kuliah kritik sastra diselenggarakan M. Saleh Saad, maka sejak awal
tahun 1970-an sampai awal tahun 1980, pengaruhnya masih sangat kuat bagi
mahasiswa peserta mata kuliah ini.
[62]Beberapa istilah yang berhasil dibakukan, di antaranya, istilah
Plot menjadi alur, setting menjadi latar, character menjadi tokoh,
narrator menjadi pencerita, dll. Buku Panuti Sudjiman (Ed.), Kamus
Istilah Sastra (Jakarta: Gramedia, 1986), merupakan contoh salah satu
usaha penyeragaman istilah sastra itu.
[63]Memasukkan kajian budaya (cultural studies) dalam pengajaran
kritik sastra didasarkan pada pertimbangan pentingnya peranan kritik
sastra dalam menganalisis karya sastra dan mengkaitkannya dengan
persoalan budaya. Dalam hal ini, karya sastra diperlakukan sebagai salah
satu produk budaya. Mengenai materi ini, yang menjadi buku pegangan
adalah antologi artikel yang dihimpun John Storey (Ed),Cultural Theory
and Popular Culture (New York: Harvester Wheatsheap, 1994) dan karya
Tony Bennet, Popular Fiction: Technology, Ideology, Production, Reading
(London: Routledge, 1990).
[64]New Historicism adalah sebuah gerakan kesadaran sejarah baru yang
muncul sebagai reaksi atas pengaruh New Criticism. Di dalam kritik
sastra, New Historicism mencoba memanfaatkan berbagai macam aliran,
mazhab, dan teori. Yang menonjol dari aliran ini adalah usahanya untuk
memanfaatkan berbagai disiplin ilmu lain (interdisipliner). Dalam
pandangan aliran ini, Kritik Baru dianggap telah mengisolasi karya
sastra dari segala macam unsur di luar sastra. Mengenai hal ini, lihat
H. Aram Veeser (Ed.), The New Historicism (New York: Routledge, 1989).
Sejarah Perkembangan Teori Dan Kritik Sastra
Kamis, 08 November 2012 | 0 komentar
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar