INFO:

sejarah ump

Rabu, 19 Desember 2012 | 0 komentar

kita sekolah di ump, tapi anehnya kok tidak tahu sejarah kampus kita. jangankan asalmula kampus, mungkin saat ini juga ada mahasiswa yang tidak tahu nama rektornya. nich ngintip sedikit tentang sejarah UMP.
        
Berdirinya Universitas Muhammadiyah Purworejo yang pada waktu itu bernama IKIP Muhammdiyah Purworejo berawal dari semangat yang tinggi para pendiri untuk menciptakan wacana keilmuan dan keislaman, sehingga diharapkan akan muncul kepribadian yang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dilandasi nilai-nilai keislaman.
           Universitas Muhammadiyah Purworejo merupakan alih bentuk dari IKIP Muhammadiyah Purworejo. Pada awal terbentuknya, Perguruan Tinggi Muhammadiyah ini belum merupakan suatu institusi yang mandiri, tetapi merupakan kelas jauh dari Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan universitas Muhammadiyah Jakarta cabang Magelang di Purworejo secara remi berdiri pada tanggal 24 September 1964.
           Kemudian pada tanggal 30 Juni 1966, bergabung dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Berdasarkan Surat Koordinator Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah tanggal 1 Desember 1973 nomor: 065C/K/IV/73 IKIP Muhammadiyah Berstatus sebagai perguruan tinggi berdiri sendiri dengan status terdaftar bagi FIP, FKIS dan FKSS.
           Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat berdasarkan Surat Keputusan Mendikbud RI Nomor 05/D/0/1999 tanggal 8 Januari 1999, IKIP Muhammadiyah Purworejo beralih bentuk menjadi Universitas Muhammadiyah Purworejo dengan 4 Fakultas sebagai berikut:
  1. Fakultas Teknik
  2. Fakultas Ekonomi
  3. Fakultas Pertanian
  4. Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan
Continue Reading

STRUKTUR KARAKTER DRAMA DAG DIG DUG

| 0 komentar


PENDAHULUAN
I. SEKILAS TENTANG PUTU WIJAYA
Putu Wijaya, pengarang yang produktif ini bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya, Lahir di Puri Anom, Sarem, Kangin, Tabanan, Bali, 11 April 1944. Sejak ,duduk di SMP mulai menulis cerita pendek dan ketika di SMA Singaraja mulai terjun ke dalam kegiatan sandiwara. Tamat SMA masuk Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, meraih gelar Sarjana Hukum jurusan Perdata di tahun 1969. Sebelum hijrah ke Jakarta tahun 1970, ia belajar melukis di ASRI dan drama di ASDRAFI Yogyakarta. Senagai pengarang yang produktif, telah banyak naskah drama yang ia ciptakan, diantarannya yakni Dalam Cahaya Bulan (1966), Lautan Bernyanyi (1967), Bila Malam Bertambah Malam (1970), Invalid (1974), Tak Sampai Tiga Bulan (1974), Anu (1974), Aduh (1975), Dag-Dig-Dug (1976), dan Gerr (1986). Kini ia aktif mengelola Teater Mandiri, sebuah bengkel teater yang ia dirikan di Jakarta.
II. TENTANG DRAMA DAG DIG DUG
Drama tiga babak Dag Dig Dug merupakan drama yang pernah menjuarai sayembara penulisan naskah lakon yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1976. Drama ini berkisah tentang kehidupan sepasang suami istri pensiunan yang mengelola sebuah rumah indekosan dan memafaatkan uang sewa kos dan uang pensiunan sebagai nafkah hidup mereka di usia senja. Disamping itu, muncul tokoh Cokro yang pada babak pertama dan kedua tidak pernah terlihat, dan hanya terdengar suaranya saja. Baru pada babak ketiga ia menampakkan wajahnya. Lalu muncul juga tokoh Tamu I dan Tamu II, Tobing, serta Ibrahim.
Cerita bermula dengan perbincangan tokoh Suami dan Istri yang tengah membicarakan siapa itu Chaerul Umam. Merka yang merasa tidak mengenal Chaerul Umam tiba-tiba mendapat surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa Chaerul Umam telah meninggal karena kecelakan. Cerita berlanjut dengan datangnya dua orang tamu pria yang mengaku rekan Chaerul Umam di Jakarta. Mereka memberikan uang milik Chaerul Umam kepada Suami dan Istri yang ternyata isinya tidak sesuai dengan kwitansi yang tertera. Alhasil mereka mengembalikan uang tersebut setelah menambahkan uang tabungan mereka yang sedianya akan digunakan untuk biaya pemakaman mereka. Setelah menabung sekian lama, akhirnya mereka memliliki cukup uang lagi untuk membeli material yang diperlukan untuk pembangaunan makam. Disini muncul tokoh Ibrahim yang menjadi tukang yang bersedia membangun makam. Tokoh Tobing juga muncul sebagai orang yang ditawari rumah Suami dan Istri dengan harga murah. Dia akhir cerita, muncul tokoh Cokro yang walaupun tidak begitu dominan di awal dan tengah cerita, ternyata menjadi tokoh penentu di akhir cerita.








PEMBAHASAN
I. LANDASAN TEORI
Karakter merupakan salah satu struktur yang terdapat dalam sebuah drama selain plot dan tema. Unsur karakter (character) yang terdapat dalam drama lazim disebut tokoh. Tokoh merupakan unsur dominan dalam sebuah drama yang berfungsi sebagai sebagai penggerak alur dalam drama. Dengan adanya tokoh, maka alur dalam drama akan menjadi hidup dan mengalir. Penokohan merupakan salah satu sarana yang digunakan oleh seorang pengarang untuk mengungkapkan alasan masuk akal terhadap sikap dan perilaku tokoh dalam sebuah drama. Tokoh merupakan bagian krusial dari sebuah drama karena dengan keberadaan tokoh makan akan terjalin sebuah alur yang akan menghidupkan latar dan rangkaian peristiwa.
Di samping itu, penokohan dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni watak datar (flat characterization) dan watak bulat (round characterization). Flat characterization atau watak datar ialah watak tokoh-tokoh cerita yang bersifat statis,datar,monoton,dan hanya menonjolkan satu watak tertentu saja yang dicerminkan selama jalannya cerita. Sedangkan watak bulat (round characterization) adalah watak tokoh cerita yang kompleks(bermacam-macam), seringkali mengalami perubahan sehingga tidak bisa diidentifikasikan apakah ia berwatak baik atau jahat.
Menurut Kernodle (1966:350-353), karakter tidak hanya mengacu pada dimensi fisik tokoh seperti pengenalan toko melalui umur, bentuk fisik, penampilan, kostum, tempo/irama permainan tokoh, namun juga dimensi psikologis tokoh seperti sikap batin tokoh. Sikap batin biasanya berkenaan pada gejala psikologis seorang tokoh seperti tokoh yang emosional, periang, pemurung, pendiam, humoris, bijak, cerewet, serius, pelupa, dan lain sebagainya.
Dalam menganalisis karakter, dikenal 3 metode, yakni metode analitik, metode dramatik, dan metode analitik-dramatik. Metode analitik merupakan metode penokohan dengan menguraikan langsung tokoh tokohnya. Metode dramatik ditempuh melalui percakapan, pikiran tokoh, atau tanggapan tokoh yang lain. Sedangkan metode analitik-dramatik merupakan metode kombinasi antara metode analitik dan dramatik (Tasrif dalam Harymawan, 1988:18)

II. KARAKTER DALAM DRAMA DAG DIG DUG
A. KARAKTER SUAMI
Karakter suami digambarkan sebagai seorang pensiunan yang juga bekas pemain tonil semasa mudanya dulu. Tokoh suami merupakan tokoh yang mendominasi hampir keseluruhan adegan bersama tokoh istri. Keduanya menjalin alur cerita melalui percakapan/ dialog antar tokoh. Si suami adalah seorang pria tua pensiunan bekas pemain tonil yang berumur antara 60-65 tahun. Dimensi fisik tokoh suami tidak begitu dijabarkan secara terperinci. Ia hanya digambarkan sebagai seorang pria tua yang menderita asma dan sakit encok di pinggangnya. Tokoh ini selalu duduk di beranda sambil minum kopi dan makan camilan bersama istrinya.
Dimensi psikologis karakter suami terwujud dari dialog dialognya dan juga reaksi tokoh lain atas ucapan dan tindakannya. Tokoh suami adalah seorang pria tua yang pelupa. Sifatnya itulah yang kerap menjadi pemicu pertengkaran dengan istrinya bahkan hanya karena masalah sepele sekalipun.
"Lupa, bagaimana ingat?"
"coba, coba! Nanti diberi tahu lupa lagi. Jangan biasakan otak manja". (Hal.7)

"Aku tidak ingat Tobingmu. Dan Chairul, Chairul... Tampangnya kumis? Hatinya baik? Tidak ingat. Sedih juga rasanya orang yang pernah kenal mati disana. Sedih lagi aku tak ingat apa-apa"(Hal 10)

Sifatnya yang pelupa juga membuatnya kerap salah dalam mendiskripsikan orang lain. Hal inil juga yang membuatnya tidak ingat terhadap Chaerul Umam.
"Tapi kulitnya bersih. Agak kukulan. Rambut panjang. Ingat sekarang. Dia tidak suka sepatu. Tidak suka dasi. Tidak suka jas. Makan pakai tangan. Tidak suka jam tangan. Ya!".
"Itu Tholib"(Hal.11)

"O, yang suka meludah di depan sana?"
"Itu Bahrum"(Hal.12)

Sebagai mantan pemain tonil, maka ia pandai dalam mengolah perasaannya sehingga dapat bereaksi dengan cepat terhadap perubahan suasana yang mendadak sekalipun. Maka tidak mengherankan juga bila tokoh Suami pandai bersandiwara.
"Ma'af, bapak memang pemain tonil waktu mudanya. Ia biasa memainkan sejarah, jadi cepat sekali sedih" (Hal.18)
Dari dialog-dialognya, dapat diketahui bahwa tokoh suami adalah seorang pria yang suka berkata kasas kepada istrinya. Si suami juga sering menyalahkan istri atas masalah yang menjadi penyebab pertengkaran mereka.

"Dengar goblok! Tidak bisa dikembalikan karena kurang. Kalau ikut saja pendapatku, kembalikan, kembalikan, sudah beres".(Hal.26)

"Tidak bisa! Aku mengerti maksudmu, pokoknya kau mau menyalahkan aku"(Hal.26)

Tokoh suami juga digambarkan memiliki sifat takabur sehingga ia merasa sok berani mati padahal kenyataannya ia juga takut mati.
"Jangan takabur!"
"Apa takabur?Hah! Apa!" (ia mencoba mendekati kain putih itu, tetapi langkahnya tertegun). Kau sendiri tidak? (Hal.68)
Namun dibalik karakter buruk yang melekat pada tokoh sumi, masih ada sedikit rasa sedikit peduli pada cokro yang sedang sakit.

"Orang sakit kok dibentak-bentak. Makanya sini!"

"sudah, jangan dirongrong, buka pintunya! Sana” (Hal.55)

B. KARAKTER ISTRI
Karakter istri merupakan karakter yang mendominasi hampir keseluruhan adegan dalam drama ini bersama tokoh suami. Secara fisik, tokoh istri ini juga tidak digambarkan secara mendetail seperti halnya tokoh suami. Tokoh istri adalah perempuan tua yang berusia sekitar 60-65 tahun. Karena usianya yang sudah tua, ia sering menderita sakit kepala. Ia biasa duduk-duduk di beranda menemani suaminya bersantai. Tokoh istri merupakan "parter" dari tokoh suami dalam hal bertengkar, dan pertengkaran merekalah yang menggerakkan alur sehingga terasa hidup. Melalui pertengkaran mereka, kedua tokoh berusaha mengungkapkan kejadian sebenarnya yang terjadi dalam batin, pikiran, maupun angan-angan mereka.
Secara psikologis, tokoh istri digambarkan sebagai seorang perempuan kasar dan pemarah. Hal ini sering memicu pertengkaran kecil mereka semakin menjadi hingga akhirnya reda dengan sendirinya.

"Dua puluh!!(membentak)

(marah) “Habis dua puluh, mana ingat semua. Belum lagi suka pindah. Kamu kerjanya saban hari duduk, tentu saja ingat. Kita yang ngurusin suka bingung". (Hal.13)
(hendak marah)"jangan mancing mancing aku marah!". (Hal.71)
Sifat tokoh istri yang keras kepala dan tidak mau mengalah membuat tokoh istri mendominasi hampir semua dialog dan menimbulkan kesan tokoh suami sebagai seorang yang takut kepada istri.
"makanya jangan berlagak"
"siapa?"
"kau"
"lho"
"tidak ngaku?"
"orang lupa kok berlagak"
"nggak!" (Hal.13)
Tokoh istri juga diambarkan sebagai seorang perempuan tua cerewet yang mau menang sendiri. Sifat ini yang membuat cokro tidak menyukai tokoh istri selain sikapnya yang suka memerintah dan memaki.

"Dan lagi, yang selalu cerewet dalam segala hal, kok diam dalam hal ini membiarkan saja. Penyakitmu itu..."

"Cokro!!!Cokro!!! (kedengaran suara menyahut jauh). Jemuran nasi pindah!. Bikin air panas lagi!!! Telor ayam ambil! Jangan lepas yang putih!...
(Hal.14)


"..Senangnya memerintah orang, mau benar sendiri, tahu salah tapi masih tidak mau ngaku. Sudah sering, maunya menang sendiri...(Hal.27).

"Biarin orang edan!"
"biar saja edan!"(Hal.77)
Melalui penuturan suami melalui dialognya, diketahui bahwa tokoh istri juga memiliki sifat plin-plan dan tidak teguh pendirian.
"..Penyakitmu yang lain, kau tidak punya, pikiranmu hanya pulang balik kanan kiri, tidak bisa sedikit mengembang mengempis" (Hal.26)
Sikap si istri yang selalu menaruh curiga kepada setiap orang dan tidak mudah bersimpati kepada orang lain membuatnya menjadi pribadi yang kaku dan senang menuduh orang lain.
"keterlaluan mencurigai semua orang!"
"Memang mereka jujur? Aduuuh! Kalu jujur mereka harus sabar tunggu. Tidak akan lama lagi. Kita juga sudah bosan begini!" (Hal.63)
Karena sifatnya yang pencuriga dan suka menuduhlah yang membuat kebencian dan dendam Cokro memuncak sehingga ia berani bersuara setelah sekian lama diam saja atas perlakuan yang diterimanya. Sifatnya ini pula yang membuat suaminya bertengkar hebat dengan Cokro yang berakhir dengan kematian keduanya ditangan Cokro.
"siapa menghasut dia?"
"sejak dia membaca buku wasiatmu"
"apa dia baca?"
"barangkali orang lain baca, waktu menjenguk kuburan dulu. Makanya hati-hati!"
"aku taruh di bawah kasur!"
"Dia bongkar-bongkar kalau kita pergi"(Hal.77)

"pencuri, dia bilang pencuri, coba siapa lagi, jadi betul dia yang mencuri uang Chaerul Umam, kita sudah curiga,ya!"(Hal.81)

C. KARAKTER COKRO
Karakter Cokro merupakan karakter yang unik, dimana karakter ini hanya dihadirikan berupa suara suara saja hingga sampai pada adegan tentang dirinya (adegan Cokro). Kehadiran Cokro yang hanya muncul di babak terakhir ini ternyata sangat penting dalam menggerakkan alur cerita. Tokoh Cokro menjadi penentu jalannya akhir cerita. Karakter tentang cokro dapat dilihat melalui dialog -dialognya (baik dialog dengan tokoh lain maupun monolog pada dirinya sendiri) dan juga penjelasan pengarang tentang gambaran tokoh.
Pada awal kemunculannya, tokoh Cokro digambarkan pengarang sebagai perempuan tua yang membawa serbet, kebut, sapu, dan alat kebersihan lainnya. Ia diceritakan sangat menderita karena diperlakukan sebagai seorang pembantu. Walaupun begitu, ia sangat keras kepala. Walaupun sudah tua, ia masih tetap sehat dan kuat karena setiap hari bekerja keras.
Cokro yang tak pernah kelihatan itu sekarang membawa serbet, kebut, sapu dan sebagainya alat-alat untuk membersihkan. Ia melempar alat alat itu ke tengah ruangan satu persatu. Kemudian ia muncul. Cokro seorang perempuan tua juga. Menderita tapi keras kepala. Tubuhnya masih gesit karena setiap hari bekerja berat. (Hal.67-68)
Cokro sebenarnya adalah adik perempuan tokoh istri yang dibawa dari kampung untuk membantu kehidupan rumah tangga tokoh suami dan istri dengan janji akan diberi sawah dan kehidupan layak dan mewah di kota. Namun pada kenyataannya, ia diperlakukan sebagai pembantu yang harus bekerja keras setiap hari.
Dimensi psikologis Cokro tercermin dari dialognya yang kaku kepada tokoh suami dan istri. Sifat kaku dan keras yang ditunjukan Cokro merupakan hasil kemarahan dan kekecewaannya atas perlakuan Suami dan Istri.

"tiap hari ribut. Apa?"
...
"Dipindahkan sendiri, sekarang ribut sendiri"
...
(kesal)"ya!"(Hal.61)
...
"Yaaaaa!!!Bangsat!"(Hal.70)

Karena perlakuan yang diterimanya, diam-diam Cokro menyimpan dendam dan rasa benci kepada tokoh suami dan istri. Puncak kekecawaan dan kemarahan Cokro terjadi ketika dirinya dituduh membaca surat wasiat yang dibuat oleh Suami yang ia sembunyikan di bawah bantal. Pertengkaran dengan tokoh suami membuahkan kematian tokoh suami dan istri di tangan Cokro pada akhir cerita.
D. KARAKTER IBRAHIM
Karakter Ibrahim muncul di bagian pertengahan cerita. Karakter ini dihadirkan sebagai tokoh yang merealisasikan rancangan kuburan yang telah didesain salah satu anak kost yang pernah tinggal di rumah tokoh suami dan istri. Ibrahim diceritakan sebagai seorang tukang bangunan yang biasa dimintai jasanya untuk membangun sesuatu baik secara perorangan maupun borongan. Dimensi fisik tokoh Ibrahim digambarkan melalui penjelasan pengarang tentang gambaran karakter. Ibrahim digambarkan sebagai seorang pria perokok yang berpakain kedodoran, kumal, dan terkesan menyembunyikan sesuatu. Dimensi fisik yang diceritakan melalui dialog antar tokoh diketahui bahwa Ibrahim adalah pria penyakitan.
"kenalanmu Ibrahim itu? Penyakitan, apa dia sanggup kerja kalau kita mati?" (Hal.41)

Melalui dialog tokoh istri yang semenjak awal tidak bersimpati kepadanya, diketahui bahwa Ibrahim adalah tipikal orang yang kurang terorganisir(ditunjukkan melalui pakainnya yang sering kedodoran), tidak sopan (ditanya malah ganti bertanya), serta kurang memperhatikan tata krama.
"sekarang aku tidak mau ikut campur. Urus sendiri tukangmu ini. Pakaian kedodoran. Ditanya malah ganti nanya. Caranya makan seperti itu, kerjanya pasti begitu juga..." (Hal.47)

Di samping itu, tokoh ibrahim juga digambarkan sebagai orang yang oportunis selama itu menyangkut kepentingan pribadinya, dan jug terkesan berbelit belit dalam berbicara.
E. KARAKTER TOBING
Karakter Tobing merupakan tokoh yan muncul di pertengahan cerita. Ia diceritakn sebagai seorang pemuda yang pernah mondok di tempat suami dan istri. Melalui dialog tokoh lain, diketahui bahwa Tobing adalah seorang pemuda berusia sekitar 30-35 tahun.yang tergolong sukses karena setelah lulus ia diceritakan pernah keluar negri, banyak memimpin, dan sudah berkeluarga dan menetap di daerah yang sama dengan Tokoh suami dan istri. Ia juga diceritakan memiliki penghasilan yang tetap dan lumaya besar sehingga mampu mencicil rumah Suami dan Istri yang dijual murah dengan syarat Tobing harus mengurus pemakaman mereka kelak. Dimensi psikologis Tobing dapat dilihat melalui penjabaran tokoh suami yang menceritakan bahwa Tobing merupakan pemuda yang berwawasan luas.
"apalagi Nak Tobing juga tahu seluk beluk. Pokoknya kami percaya pada Nak Tobing"(Hal.51)
...
"gajih nak Tobing kan besar"(Hal.52)
Walaupun begitu, karena sifat tokoh istri yang pencuriga dan suka menuduh tanpa dasar, maka dalama dialognya Tobing diceritakan sebagai orang yang tidak sabaran menunggu mereka berdua mati dan juga lemah terhadap istrinya. Bahkan ia juga dituduh bersekongkol dengan Cokro mencuri uang Chaerul Umam. Namun tuduhan itu tidak terbukti hingga akhir cerita.
"Tidak sabaran, maunya kita cepat cepat mati. Mentang mentang sudah lunas cicilannya.."(Hal.62)
...
"Tobing lemah terhadap perempuan, seperti kau!" (Hal.62)
...
"Rasanya kok ya, ya! Tobing -Cokro dulu komplot! Ya?!"(Hal.81).

F. KARAKTER TAMU l DAN TAMU ll
Karakter Tamu I dan Tamu II tidak begitu menonjol dalam drama ini. Kedua karakter dihadirkan hanya untuk mengabarkan berita kematian Chaerul Umam yang identitasnya tidak jelas sampai akhir cerita. Kedua tokoh ini diketahui sebagai rekan kerja Chaerul Umam di Jakarta melaui dialognya.
Dimensi fisik kedua tokoh tidak dijelaskan secara mendetail. Melalui penjelasan pengarang tentang gambaran tokoh, keduanya adalah laki-laki yang berusia sebaya dengan Chaerul Umam, yakni sekitar 20-25 tahun.Sedangkan melalui dialog antar tokoh, diketahui bahwa keduanya berprofesi sebagai wartawan yang sangat sibuk.

"kami repot sekali. Banyak tugas. Besok pagi kami harus kembali ke Jakarta"
...
"terima kasih bu, kami repot, maklum wartawan" (Hal.18)














DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum.2010.Drama, Sajarah Teori, dan Penerapannya.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
http://www.tamanismailmarzuki.com/tokoh/putuwijaya.html
Harymawan.1994.Dramaturgi.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.
Continue Reading

MATA KULIAH LINGUISTIK INDONESIA 1 ANALISIS MORFOLOGIS PEMAKAIAN AFIKS DALAM BAHASA INDONESIA

| 0 komentar


1. Pengantar
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melatih mahasiswa melakukan studi lapangan (field study) guna menerapkan teori-teori yang telah dikenal melalui kegiatan perkuliahan dan diskusi (tanya jawab di kelas). Juga kegiatan dimaksudkan untuk melatih mahasiswa melakukan kegiatan analisis kebahasaan yang berkaitan dengan bidang morfologi yang kemudian dituangkan dalam bentuk laporan studi lapangan berupa makalah. Objek studi lapangan ditentukan tidak hanya aspek morfologis bahasa Indonesia, tetapi juga aspek morfologis bahasa-bahasa daerah yang dikuasai oleh mahasiswa. Melalui kegiatan secara terprogram dan terarah, mahasiswa melakukan survei lapangan – dalam bentuk studi kepustakaan atau studi lapangan – untuk mengumpulkan data-data kebahasaan sesuai dengan topik yang telah ditentukan.
Kegiatan pengumpulan data dilakukan sesuai dengan bidang tugas timnya masing-masing. Setelah data terkumpul dan dipandang mencukupi serta representatif, kegiatan berikutnya segera dilakukan klasifikasi data yang telah diperoleh sesuai degan tujuan analisis. Selanjutnya, berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan telah diklasifiksikan, mahasiswa melakukan analisis untuk menyajikan (menulis) sebuah makalah. Di luar kegiatan penyajian (penulisan), mahasiswa dituntut untuk melakukan kontak diskusi sehubungan dengan topik yang sedang dianalisis. Semua tahapan kegiatan harus dilakukan sesui dengan jadwal yang terleh ditetapkan.

2. Topik Penelitian
Topik penelitian untuk penyusunan makalah berupa aspek morfologi bahasa Indonesia. Tiap topik dikerjakan secara mandiri (oleh tiap mahasiswa). Langkah kegiatan penyelesaian tugas rumah meliputi: survei (dalam rangka pengumpulan data), pengklasifikasian data, dan kegiatan analisis data (penulisan makalah).

3. Kerja Penyusunan Makalah
Lakukan analisis secara deskriptif afiks-afiks dalam bahasa Inodnesia dalam konteks pemakaian bahasa.(sesuai dengan topik masing-masing). Deskripsi (analsis) itu dilakukan untuk mengetahui perilaku afiks-afiks atas fungsi atau peran serta makna gramatik yang ditimbulkannya.

3. Langkah kerja yang harus dilakukan adalah:
(1) Pengumpulan data
Melakukan survei lapangan atau studi pustaka untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Data dapat diambil dari buku teks apa saja (buku pelajaran SD hingga universitas, novel, surat kabar, dan majalah). Khusus dari majalah dan surat kabar, jika data diambil dari ragam bahasa jurnalisistik, susun ulang kalimat tersebut agar menjadi kalimat baku (bukan ragam jurnalisitik). Data disajikan dalam bentuk kalimat tunggal atau kalimat majemuk. Jika sangat diperlukan, dapa dapat disajikan dalam bentuk alinea (sejauh hal itu dibutuhkan untuk keperluan analisis). Data juga dapat dibuat sendiri oleh penulis sebagai penutur asli dan diujikan pada penutur asli yang lain untuk menguji tingkat kegramatikannya (keberterimaannya) dan untuk menguji apakah struktur kalimat tersebut sudah benar.
Kumpulkan data pemakaian afiks dalam bentuk kalimat (tunggal atau majemuk) sejumlah yang dapat dijangkau dengan mempertimbangkan bentuk dasar yang memungkinkan dilekati oleh afiks tersbut, misalnya afiks meN- pada bentuk dasar berupa nomina (membatu, membudaya, mendarat), afiks meN- pada bentuk dasar pokok kata (menulis, mengambil, membaca), afiks meN- pada bentuk dasar verba (memindah, menurun, mengenal), dan afiks meN- pada bentuk dasar kata sifat (meluas, menyempit, melebar, jmenjauh). .
Contoh data yang digunakan dalam anilisis.
[1] Adonan semen itu membatu setelah dibiarkan selama empat jam.
[2] Tampaknya, hati orang itu telah membatu sehingga semua nasehat dan saran dari keluarga dan teman-teman dekatnya sudah tidak dihiraukan lagi.
[3] Pesawat itu mendarat di bandara pada pukul 07.15.
[4] Pemakaian telepon genggam sudah membudaya di kalangan masyarak sejak lima tahun lalu.
[5] Sejak istrinya meniggal dunia akibat penyakit yang dideritanya, Bayu Samudra menduda hingga kini.

(2) Klasifikasi data
Lakukan klasifikasi data sesuai dengan keperluan analisis yang akan dilakukan.

(3) Analisis data
Menyajikan hasil analisis dalam bentuk tulisan.(makalah).
Misalnya bahwa afiks meN- pada bentuk dasar nomina batu menjadi membatu mengandung makna ‘proses mengeras seperti batu’ dalam konteks tuturan (kalimat):
[1] Adonan semen itu membatu setelah dibiarkan selama empat jam.
[2] Tampaknya, hati orang itu telah membatu sehingga semua nasehat dan saran dari keluarga dan teman-teman dekatnya sudah tidak dihiraukan lagi.
. [3] ....

Hal-hal yang harus dilakukan:
misalnya, topik analisis Anda adalah afiks meN-
(a) Deskripsikan bahwa dalam bahasa Indonesia, misalnya, afiks meN- dapat melekat pada bentuk dasar nomina, verba dasar, adjektiva, numeralia, atau pronomina).
(b) Deskirpsikan fungsi yang diperankan oleh afiks meN- berkenaan dengan aspek derivasional atau inflesional.
(c) Deskripsikan makna (yaitu makna gramatikal) yang ditimbulkannya atas melekatnya afiks meN pada bentuk dasar itu.

4. Kalimat data yang Anda gunakan sebagai bahan analisis, baik yang digunakan sebagai pembuktian atau sebagai contoh deskripsi maupun tidak, disertakan dalam bentuk lampiran makalah setelah daftar pustaka. Halaman lampiran ditulis berlanjut setelah halaman daftar pustaka.

5. Kumpulkan tugas rumah Anda paling lambat pada pertemuan terakhir perkuliahan
( …. - .... - 2011).

6. Selamat berkarya. Semoga sukses meraih masa depan yang gemilang

7. Pembagian Tema:.
(1) afiks ber-
(2) afiks meN-
(3) afiks memper- dan –an
(4) afiks ter-
(5) afiks meN-/-kan
(6) afiks meN-/-i
(7) afiks memper-/-kan dan afiks memper-/-i
(8) afiks ber-/-an
(9) afiks peN-/-an dan afiks per-/-an
(10) afiks ke-/-an
(11) kata ulang
(12) ...
8. ...
Continue Reading

info kita

Minggu, 16 Desember 2012 | 0 komentar

untuk besok pagi linguistik umum tetap pelajaran seperti biasa
info lebih lanjut hub. koordinator linguistik umum
Continue Reading

Format Baru Sejarah Sastra Indonesia

| 1komentar


 BERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Meskipun demikian, produksinya boleh dibilang pesat, terutama di sektor puisi, cerpen, dan novel. Jumlahnya pasti menyulitkan siapa pun yang berambisi besar hendak membaca seluruh teks sastra Indonesia.

Sejarah mencatat hanya karya sastra dan peristiwa-peristiwa penting yang dibaca orang dari masa ke masa, terutama di jalur pengajaran, kritik, dan penelitian. Di luar kebutuhan itu sangat banyak karya sastra dan peristiwa kesastraan yang terlupakan. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Dengan buku itulah masa lampau sastra Indonesia direkonstruksi sedemikian rupa sehingga berkembang pengetahuan yang memperkaya khazanah budaya masyarakat.
Boleh saja buku sejarah itu tidak dibutuhkan para pengarang dengan alasan subjektif. Boleh juga penulisannya menghasilkan beberapa versi dengan argumentasi masing-masing, sedangkan mana yang terbaik kelak akan ditentukan oleh publik sastra yang makin cerdas.
Penulisan sejarah sastra Indonesia yang mencakup perjalanan seluruh genre (puisi, prosa, drama), kritik, esai, dan peristiwa kesastraan, barangkali merupakan ambisi besar. Tetapi, kesempatannya tetap terbuka lebar setelah Ajip Rosidi membuktikan keberhasilannya menulis Ikhtisar Sejarah Indonesia (Bina Cipta, Bandung, 1968) dan Teeuw sukses menulis Modern Indonesian Literature III (Martinus Nijhoff, The Hague, 1979) yang terbilang monumental. Perkembangan sastra Indonesia dalam tiga puluh tahun terakhir ini saja sudah merupakan bahan besar untuk penulisan buku sejarah tersebut. Akan lebih besar lagi muatannya apabila orang melihat sejarah sastra Indonesia dari pertumbuhannya sejak awal tahun 1900.
Salah satu persoalan sejarah sastra Indonesia adalah perubahan zaman dengan gejolak sosial dan politik yang secara teoretis dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna penciptaan sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968).
Secara garis besar, Ajip membagi sejarah sastra Indonesia menjadi masa kelahiran atau masa kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 dan masa perkembangan yang mencakup kurun waktu 1945-1968. Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting.
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat yang sedang menghadapi akulturasi dan dengan demikian menimbulkan berbagai problem bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan romantis-idealis. Kemudian terjadi perubahan pada periode 1942-1945 atau zaman pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, peralihan, dan kegelisahan.
Warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode 1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Tentu saja analisis Ajip Rosidi hanya berlaku sampai tahun 1967, sebab bukunya terbit pada tahun 1968.
Format baru
Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Tentu saja ketiga momentum nasional tersebut tidak dengan sendirinya terkait dengan gejala-gejala yang berkembang dalam karya sastra yang bermunculan pada sekitar tahun-tahun yang bersangkutan. Momentum itu hanya dipergunakan sebagai ancangan teoretis untuk memudahkan analisis para ahli sastra.
Proklamasi 17-8-1945 jelas merupakan klimaks perjuangan merebut kemerdekaan walaupun nyatanya tidak otomatis menjadikan republik ini berdiri tegak dan terbebas dari rongrongan berbagai pihak.
Geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965 jelas bukan peristiwa yang tiba-tiba terjadi dan akibatnya berkepanjangan hingga belasan tahun kemudian. Demokrasi terpimpin yang kemudian berganti dengan demokrasi Pancasila tidak membuahkan kebebasan berpikir yang memuaskan. Selama belasan tahun terakhir kekuasaan Orde Baru, makin dirasakan pemasungan kreativitas.
Reformasi politik Mei 1998 dapat dipandang sebagai klimaks kehendak masyarakat untuk memperoleh kehidupan sosial, politik, dan budaya yang lebih segar, santun, dan demokratis. Akan tetapi, sampai sekarang pun belum dirasakan hasilnya.
Meskipun demikian, peristiwa-peristiwa tersebut telah menimbulkan perubahan-perubahan sosial-politik yang mendasar dan secara teoretis dapat dipercaya besar pengaruhnya terhadap pandangan, pemikiran, gaya, dan teknis pengucapan sastra. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut.
Rujukan lain adalah telaah Jakob Sumardjo tentang sejarah perkembangan teater dan drama Indonesia (STSI Press, Bandung, 1887). Jakob memandang sejarah teater Indonesia sejak pertengahan abad ke-18, sedangkan sastra drama Indonesia berawal pada tahun 1925. Sementara itu, Korrie Layun Rampan (1982) pernah menulis sejarah perkembangan cerita pendek Indonesia yang alurnya ternyata tidak sama benar dengan perkembangan genre yang lain.
Memang sudah saatnya dikembangkan pengkajian sejarah pertumbuhan dan perkembangan genre-genre sastra Indonesia sehingga diperoleh gambaran umum mengenai sejarah puisi, sejarah cerpen, sejarah teater, dan sejarah roman Indonesia. Namun, pengkajian sejarah sastra Indonesia secara garis besar (makro) seperti yang sudah dikerjakan Ajip Rosidi dan Teeuw tetap saja diperlukan untuk pengajaran sastra di sekolah menengah, fakultas sastra, dan apresiasi masyarakat. Untuk keperluan seperti itulah barangkali sudah saatnya dipertimbangkan tawaran format baru sejarah sastra Indonesia.
Empat masa
Tanpa memperdebatkan pemakaian istilah periode, masa, babak, tahap, dan sejenisnya, sementara ini ditawarkan istilah masa dengan pengertian kurun waktu yang panjang dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia.
Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
Mungkin diperlukan nama atau sebutan yang memudahkan orang memahami ciri-ciri pokok setiap masa. Penamaan itu bisa disesuaikan dengan prosesnya, seperti kelahiran, pertumbuhan, perkembangan, dan sebagainya. Tetapi, penamaan seperti itu tidak memperlihatkan ciri khas untuk sastra Indonesia. Boleh juga dipergunakan peristiwa atau gejala terpenting sebagai penanda tertentu, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru, Gelanggang, Manifes Kebudayaan, Horison, dan lain-lain. Akan tetapi, ini pun masih mengandung kelemahan karena cenderung mengabaikan peristiwa lain yang mungkin derajat kepentingan sepadan.
Misalnya, penerbit Balai Pustaka sampai sekarang tetap berjaya sehingga bisa timbul kekaburan antara Balai Pustaka tahun 1920-an dengan Balai Pustaka tahun 1980-an. Contoh lain, kalau Manifes Kebudayaan dipandang penting pada tahun 1960-an, bisa diperdebatkan juga kepentingannya dengan Lekra yang merupakan lawannya. Kalau dipergunakan nama tokoh untuk penanda masa tertentu, bisa juga timbul perdebatan seru karena ketokohan itu pun relatif dan bahkan bisa dibilang kultus individu. Memang pernah ada sebutan Angkatan 45 atau Angkatan Chairil Anwar, tetapi tampaknya tidak bertahan.
Dapat juga dipergunakan angka tahun, seperti 1920-an, 1930-an, dan seterusnya. Tetapi, pembagiannya akan menjadi rumit di masa mendatang, sedangkan perubahan ciri-cirinya belum tentu tampak pada rentang waktu sepuluh tahunan. Padahal, maksudnya adalah memberi tanda pada gejala-gejala yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Mungkin dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau lebih.
Dengan menyisihkan kerangka teori yang rumit-rumit itu lantas terpikir kemungkinan penamaan dengan memanfaatkan ciri-ciri sosial politiknya yang sudah populer untuk mencakup seluruh genre: puisi, prosa, dan drama yang sebenarnya masing-masing memiliki alur perjalanan sendiri-sendiri. Tentu saja pemikiran awal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dan terbuka untuk perdebatan dan polemik.
Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut:
Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia.
Masa Pergolakan atau Masa Revolusi dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1945-1965 dengan alasan bahwa pada waktu itu terjadi pergolakan semangat mempertahankan proklamasi kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-konsep sastra. Berbagai gejala yang menandakan pergolakan itu antara lain terbitnya Surat Kepercayaan Gelanggang tahun 1949, munculnya organisasi kebudayaan bentukan partai, seperti Lekra, Lesbumi, LKN di tahun 1960-an; pasang surut majalah sastra seperti Kisah, Sastra, Tjerpen; kasus pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin, campur tangan kekuatan politik, pelarangan Manifes Kebudayaan, dan sebagainya.
Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Pada masa itu ilmu sastra Indonesia boleh dibilang semakin mapan di sejumlah fakultas sastra. Penelitian makin marak di mana-mana. Seminar, pelatihan, penerbitan, dan apresiasi sastra makin berkembang marak di berbagai komunitas sastra. Memang di sana-sini terjadi juga pembatasan dan penekanan, tetapi tidak mengurangi makna perkembangan dan kemapanan sastra Indonesia.
Pada akhirnya kehidupan sastra Indonesia selewat tahun 1998 harus dicatat dengan nama tertentu, misalnya Masa Pembebasan dengan alasan bahwa dalam lima tahun terakhir ini telah terjadi pembebasan kreativitas sastra. Meskipun buktinya belum bisa dibanggakan, gejalanya boleh dibilang sudah menggembirakan. Antara lain karya sastra yang tertekan selama masa pemapanan, seperti roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan sejumlah "sastra perlawanan" sekarang bisa diterbitkan tanpa ketakutan apa pun.
Simpulan sementara ini sudah tiba saatnya sejarah sastra Indonesia direkonstruksi dengan format baru untuk kepentingan pengajaran, penelitian, dan apresiasi. Rekonstruksinya dapat dilaksanakan secara menyeluruh dengan memperhitungkan alur perjalanan yang sudah mencapai sekitar 80 tahun atau terbatas pada masa-masa tertentu dalam konteks keseluruhan sejarah. Kemungkinan lain adalah rekonstruksi sejarah tiap-tiap genre yang tetap ditempatkan dalam wadah sejarah sastra Indonesia.
Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.
Continue Reading

novel-novel indonesia

Jumat, 14 Desember 2012 | 0 komentar

Continue Reading

info kita

| 0 komentar

untuk tugas teori sastra harap dikerjakan. dan besok tanggal 15 desember 2012 harus selesai.


dan untuk pembayaran buku teori sastra paling lambat tanggal 15 desember 2012.
info lebih lanjut hub. bendahara: sdr. jainatun/ sdri siska
Continue Reading

info kita

| 0 komentar

besok pagi khusus untuk kelas A1 tetap masuk seperti biasa.
info lebih lanjut hub. koordinator teori sastra dan sejarah sastra
Continue Reading

Cara Memahami Isi Puisi

Senin, 10 Desember 2012 | 0 komentar

Apa kabar wahai kau manusia ?? Hhaa.. Aku harap baik-baik saja.. hehhe
Yap, kali ini aku akan memosting tentang puisi lagi. Bedanya, kali ini aku hanya menerangkan dan sedikit memberikan contoh tentang apa itu Memahami Isi Puisi..
Aku dapatkan cara Memahami Isi Puisi ini saat aku duduk di kelas 1 SMA,
Kita diharuskan untuk menentukan Isi, Tema, Amanat, dan Nada dalam puisi yang akan tengah kita analisis. Bisa saja kita bukan hanya dituntut untuk menentukan semua itu, bisa lebih. Sebenarnya semua itu tergantung guru yang mengajarnya :D Langsung saja, berikut di bawah ini merupakan contohnya :
Dari Seorang Guru kepada Murid-Muridnya
Apakah yang kupunya, anak-anakku
selain buku-buku dan sedikit ilmu
sumber penabdian kepadamu.
Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku
aku takut, anak-anakku
kursi-kursi tua yang di sana,
dan meja tulis sederhana
dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
semua padamu akan bercerita
tentang hidupku di rumah tangga.
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
- - -horison yang selalu biru bagiku- - -
karena ku tahu, anak-anakku
engkau telalu bersih dari dosa
untuk mengenal ini semua.
Karya : Hartono Andangdjaya
Sumber: Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta, Erlangga, 1995
Dan di bawah ini merupakan contoh analisis puisi di atas :
·  ISI : Menggambarkan kehidupan seorang guru yang sangat sederhana (miskin) , dan tidak pernah dia (guru) tunjukkan saat mengajar ke depan siswa-siswanya. Tujuan mulia seorang guru ingin memintarkan anak-anaknya (siswanya). Karena guru memandang sosok anak-anaknya (siswanya) masih suci (bersih tanpa dosa) yang tidak perlu diberi beban tentang kehidupan (berumah tangga).
·    TEMA : Cerminan guru kepada murid-muridnya , kesederhanaan guru dihadapan murid-muridnya.
·    AMANAH : Hargailah guru sebagai motivator belajar , Hargailah guru karna guru seperti pahlawan tanpa tanda jasa , dan Hargailah orang tua seperti guru.
·     NADA : Dibaca secara sendu

Sekian dulu pemahamanku tentang puisi kali ini,, Semoga dapat dimengerti para pembaca sekalian :)
Continue Reading

Prosa

Minggu, 09 Desember 2012 | 0 komentar

Prosa adalah suatu jenis tulisan yang dibedakan dengan puisi karena variasi ritme (rhythm) yang dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti leksikalnya. Kata prosa berasal dari bahasa Latin "prosa" yang artinya "terus terang". Jenis tulisan prosa biasanya digunakan untuk mendeskripsikan suatu fakta atau ide. Karenanya, prosa dapat digunakan untuk surat kabar, majalah, novel, ensiklopedia, surat, serta berbagai jenis media lainnya.prosa juga dibagi dalam dua bagian,yaitu prosa lama dan prosa baru,prosa lama adalah prosa bahasa indonesia yang belum terpengaruhi budaya barat,dan prosa baru ialah prosa yang dikarang bebas tanpa aturan apa pun.
Daftar isi
  [sembunyikan]
  • 1 Jenis-jenis prosa
  • 2 Prosa Lama
    • 2.1 Hikayat
    • 2.2 Sejarah
    • 2.3 Kisah
    • 2.4 Dongeng
    • 2.5 Cerita Berbingkai
  • 3 Bentuk-bentuk prosa baru
    • 3.1 Roman
    • 3.2 Novel
    • 3.3 Cerpen
    • 3.4 Riwayat
    • 3.5 Kritik
    • 3.6 Resensi
    • 3.7 Esai
    Jenis-jenis prosa
    Prosa biasanya dibagi menjadi empat jenis:
    • Prosa naratif
    • Prosa deskriptif
    • Prosa eksposisi
    • Prosa argumentatif
    [sunting]Prosa Lama
    Prosa lama merupakan karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan, disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke indonesia, masyarakat menjadi akrab dengan tulisan, bentuk tulisan pun mulai banyak dikenal. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sastra indonesia mulai ada. Adapun bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah :
    [sunting]Hikayat
    Hikayat, berasal dari India dan Arab, berisikan cerita kehidupan para dewi, peri, pangeran, putri kerajaan, serta raja-raja yang memiliki kekuatan gaib. Kesaktian dan kekuatan luar biasa yang dimiliki seseorang, yang diceritakan dalam hikayat kadang tidak masuk akal. Namun dalam hikayat banyak mengambil tokoh-tokoh dalam sejarah. Contoh : Hikayat Hang Tuah, Kabayan, si Pitung, Hikayat si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Panji Semirang, Hikayat Raja Budiman.
    [sunting]Sejarah
    Sejarah (tambo), adalah salah satu bentuk prosa lama yang isi ceritanya diambil dari suatu peristiwa sejarah. Cerita yang diungkapkan dalam sejarah bisa dibuktikan dengan fakta. Selain berisikan peristiwa sejarah, juga berisikan silsilah raja-raja. Sejarah yang berisikan silsilah raja ini ditulis oleh para sastrawan masyarakat lama. Contoh : Sejarah Melayu karya datuk Bendahara Paduka Raja alias Tun Sri Lanang yang ditulis tahun 1612.
    [sunting]Kisah
    Kisah, adalah cerita tentang cerita perjalanan atau pelayaran seseorang dari suatu tempat ke tempat lain. Contoh : Kisah Perjalanan Abdullah ke Negeri Kelantan, Kisah Abdullah ke Jedah.
    [sunting]Dongeng
    Dongeng, adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Dongeng sendiri banyak ragamnya, yaitu sebagai berikut :
    • Fabel, adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambang pengajaran moral (biasa pula disebut sebagai cerita binatang). Contoh : Kancil dengan Buaya, Kancil dengan Harimau, Hikayat Pelanduk Jenaka, Kancil dengan Lembu, Burung Gagak dan Serigala, Burung bangau dengan Ketam, Siput dan Burung Centawi, dan lain-lain.
    • Mite (mitos), adalah cerita-cerita yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap sesuatu benda atau hal yang dipercayai mempunyai kekuatan gaib. Contoh : Nyai Roro Kidul, Ki Ageng Selo, Dongeng tentang Gerhana, Dongeng tentang Terjadinya Padi, Harimau Jadi-Jadian, Puntianak, Kelambai, dan lain-lain.
    • Legenda, adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat atau wilayah. Contoh : Legenda Banyuwangi, Tangkuban Perahu, dan lain-lain.
    • Sage, adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang menceritakan keberanian, kepahlawanan, kesaktian dan keajaiban seseorang. Contoh : Calon Arang, Ciung Wanara, Airlangga, Panji, Smaradahana, dan lain-lain.
    • Parabel, adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau perbandingan. Contoh : Kisah Para Nabi, Hikayat Bayan Budiman, Bhagawagita, dan lain-lain.
    • Dongeng jenaka, adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas atau cerdik dan masing-masing dilukiskan secara humor.
    Contoh : Pak Pandir, Lebai Malang, Pak Belalang, Abu Nawas, dan lain-lain.
    [sunting]Cerita Berbingkai
    Cerita berbingkai, adalah cerita yang didalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh : Seribu Satu Malam.
    [sunting]Bentuk-bentuk prosa baru
    Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Bentuk-bentuk prosa baru adalah sebagai berikut:
    [sunting]Roman
    Roman adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala suka dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Roman mengungkap adat atau aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. dugfiugs
    Berdasarkan kandungan isinya, roman dibedakan atas beberapa macam, antara lain sebagai berikut:
    • Roman transendensi, yang di dalamnya terselip maksud tertentu, atau yang mengandung pandangan hidup yang dapat dipetik oleh pembaca untuk kebaikan. Contoh: Layar Terkembang oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Salah Asuhan oleh Abdul Muis, Darah Muda oleh Adinegoro.
    • Roman sosial adalah roman yang memberikan gambaran tentang keadaan masyarakat. Biasanya yang dilukiskan mengenai keburukan-keburukan masyarakat yang bersangkutan. Contoh: Sengsara Membawa Nikmat oleh Tulis St. Sati, Neraka Dunia oleh Adinegoro.
    • Roman sejarah yaitu roman yang isinya dijalin berdasarkan fakta historis, peristiwa-peristiwa sejarah, atau kehidupan seorang tokoh dalam sejarah. Contoh: Hulubalang Raja oleh Nur St. Iskandar, Tambera oleh Utuy Tatang Sontani, Surapati oleh Abdul Muis.
    • Roman psikologis yaitu roman yang lebih menekankan gambaran kejiwaan yang mendasari segala tindak dan perilaku tokoh utamanya. Contoh: Atheis oleh Achdiat Kartamiharja, Katak Hendak Menjadi Lembu oleh Nur St. Iskandar, Belenggu oleh Armijn Pane.
    • Roman detektif merupakan roman yang isinya berkaitan dengan kriminalitas. Dalam roman ini yang sering menjadi pelaku utamanya seorang agen polisi yang tugasnya membongkar berbagai kasus kejahatan. Contoh: Mencari Pencuri Anak Perawan oleh Suman HS, Percobaan Seria oleh Suman HS, Kasih Tak Terlerai oleh Suman HS.
    [sunting]Novel
    Novel berasal dari Italia. yaitu novella ‘berita’. Novel adalah bentuk prosa baru yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting, paling menarik, dan yang mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perobahan nasib pelaku. lika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Contoh: Ave Maria oleh Idrus, Keluarga Gerilya oleh Pramoedya Ananta Toer, Perburuan oleh Pramoedya Ananta Toer, Ziarah oleh Iwan Simatupang, Surabaya oleh Idrus.
    [sunting]Cerpen
    Cerpen adalah bentuk prosa baru yang menceritakam sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting dan paling menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan telapi hat itu tidak menyebabkan perubahan nasib pelakunya. Contoh: Radio Masyarakat oleh Rosihan Anwar, Bola Lampu oleh Asrul Sani, Teman Duduk oleh Moh. Kosim, Wajah yang Bembah oleh Trisno Sumarjo, Robohnya Surau Kami oleh A.A. Navis.
    [sunting]Riwayat
    Riwayat (biografi), adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang lain sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa, Prof. Dr. B.I Habibie, Ki Hajar Dewantara.
    [sunting]Kritik
    Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yang sifatnya objektif dan menghakimi.
    [sunting]Resensi
    Resensi adalah pembicaraan / pertimbangan / ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari berbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
    [sunting]Esai
    Esai adalah ulasan / kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi. dan tidak boleh di sentuh oleh siapa pun.
Continue Reading

sekilas info

Jumat, 07 Desember 2012 | 0 komentar

ujian lisan mata kuliah teori sastra dilaksanakan pada tanggal 18 desember jam 1 siang.
info lebih lengkap: deny suprapto

untuk pengumpulan UTS Teori Sastra pada tanggal 15 desember.
Continue Reading

membaca

Kamis, 22 November 2012 | 0 komentar


agoes
C. Komentar
            Radikalisme dapat diartikan sebagai keinginan untuk mencapai suatu perubahan mendasar secara drastis, bahkan bila perlu menggunakan jalan kekerasan, karena tidak menemukan cara yang lebih adil. Apabila hal ini terjadi dalam suatu negara maka akan menimbulkan suatu kehancuran terhadap negara tersebut.
D. Penutup
Istilah radikal bersifat ambigu seperti terlihat pada frase “kanan radikal” yang berasosiasi dengan gerakan keagamaan dan fasisme dimasa perang. Intinya, radikal, atau radikalisme sebagai istilah paham, dipakai untuk menyebut gaya politik yang bercitra ekstrem: berbeda dari moderat, konfensional bahkan menjauh dari legal.
Berdasarkan pembahasan tersebut disimpulkan bahwa radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal. Pertama, sikap tidak toleran, tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yaitu selalu merasa benr sendiri, menganggap orang lain salah. Ketiga, sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan umat islam kebanyakan. Keempat, sikap revolusioner, yaitu cenderungmenggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan.
bokep
C. Komentar
Menurut saya radikalisme tidak selalu bersifat negatif  (anarkisme).
D. Penutup
Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Oleh karena itu, pandangan positif dan negatifnya terhadap radikalisme tentunya terletak pada cara merealisasikan dan mengekspresikannya serta dasar pandang para pengamatnya.

sampul


LAPORAN BACAAN
KOLOM BAHASA HARIAN KOMPAS
“RADIKAL(-ISME)
Disusun

Agus Susanto                        122110002


PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH PURWOREJO
TAHUN 2012-2013
Continue Reading

Sejarah Sastra Indonesia

Kamis, 08 November 2012 | 0 komentar

Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah “Indonesia” sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
Periodisasi Sastra
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
(a) lisan
(b) tulisan
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
Angkatan Pujangga Lama
Angkatan Sastra Melayu Lama
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 1945
Angkatan 1950 – 1960-an
Angkatan 1966 – 1970-an
Angkatan 1980 – 1990-an
Angkatan Reformasi
Angkatan 2000-an
Angkatan 2010
Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.[1]
Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah
Sejarah Melayu (Malay Annals)
HikayatHikayat Abdullah
Hikayat Aceh
Hikayat Amir Hamzah
Hikayat Andaken Penurat
Hikayat Bayan Budiman
Hikayat Djahidin
Hikayat Hang Tuah
Hikayat Iskandar Zulkarnain
Hikayat Kadirun Hikayat Kalila dan Damina
Hikayat Masydulhak
Hikayat Pandawa Jaya
Hikayat Pandja Tanderan
Hikayat Putri Djohar Manikam
Hikayat Sri Rama
Hikayat Tjendera Hasan
Tsahibul Hikayat
Syair
Syair Bidasari
Syair Ken Tambuhan
Syair Raja Mambang Jauhari
Syair Raja Siak
Kitab agama
Syarab al-’Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
Asrar al-’Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
Nur ad-Daqa’iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri
Sastra Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 – 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Karya Sastra Melayu LamaRobinson Crusoe (terjemahan)
Lawan-lawan Merah
Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)
Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
Kapten Flamberger (terjemahan)
Rocambole (terjemahan)
Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
Bunga Rampai oleh A.F van Dewall
Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe
Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya
Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)
Cerita Nyi Paina
Cerita Nyai Sarikem
Cerita Nyonya Kong Hong Nio Nona Leonie
Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
Cerita Rossina
Nyai Isah oleh F. Wiggers
Drama Raden Bei Surioretno
Syair Java Bank Dirampok
Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
Tambahsia
Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
Nyai Permana
Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai “Raja Angkatan Balai Pustaka” oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah “novel Sumatera”, dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2]
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka [Merari Siregar] [Azab dan Sengsara](1920) [Binasa kerna Gadis Priangan](1931) [Cinta dan Hawa Nafsu] [Marah Roesli] [Siti Nurbaya](1922) [La Hami] (1924) [Anak dan Kemenakan](1956 [Muhammad Yamin][Tanah Air (novel)|Tanah Air](1922) [Indonesia, Tumpah Darahku] (1928) [Kalau Dewi Tara Sudah Berkata][Ken Arok dan Ken Dedes] (1934) [Nur Sutan Iskandar][Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan] (1923) [Cinta yang Membawa Maut](1926) [Salah Pilih](1928) [Karena Mentua](1932) [Tuba Dibalas dengan Susu]] (1933) [Hulubalang Raja] (1934) [Katak Hendak Menjadi Lembu] (1935) [Tulis Sutan Sati] [Tak Disangka](1923) [Sengsara Membawa Nikmat] (1928) [Tak Membalas Guna](1932) [Memutuskan Pertalian](1932) [Adinegoro|Djamaluddin Adinegoro] [Darah Muda] (1927) [Asmara Jaya](1928) [Abas Soetan Pamoentjak] [Pertemuan](1927
[Abdul Muis] [Salah Asuhan]] (1928) [Pertemuan Djodoh](1933) [Aman Datuk Madjoindo] [Menebus Dosa](1932) [Si Cebol Rindukan Bulan] (1934) [Sampaikan Salamku Kepadanya] (1935)
Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
[sunting]
Penulis dan Karya Sastra Pujangga BaruSutan Takdir Alisjahbana
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran Mega – kumpulan sajak (1935)
Layar Terkembang (1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
Hamka
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939)
Tuan Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
Armijn Pane
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa
Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati – sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen (1953)
Sanusi Pane
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
Kertajaya (1932)
Tengku Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Setanggi Timur (1939) Roestam Effendi
Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan
Pertjikan Permenungan
Sariamin Ismail
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Anak Agung Pandji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
J.E.Tatengkeng
Rindoe Dendam (1934)
Fatimah Hasan Delais
Kehilangan Mestika (1935)
Said Daeng Muntu
Pembalasan
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Karim Halim
Palawija (1944)
Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik – idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan ’45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ’45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
Chairil Anwar
Kerikil Tajam (1949)
Deru Campur Debu (1949)
Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
Tiga Menguak Takdir (1950)
Idrus
Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
Aki (1949)
Perempuan dan Kebangsaan
Achdiat K. Mihardja
Atheis (1949)
Trisno Sumardjo
Katahati dan Perbuatan (1952)
Utuy Tatang Sontani
Suling (drama) (1948)
Tambera (1949)
Awal dan Mira – drama satu babak (1962)
Suman Hs.
Kasih Ta’ Terlarai (1961)
Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
Pertjobaan Setia (1940)
[sunting]
Angkatan 1950 – 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 – 1960-anPramoedya Ananta Toer
Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
Bukan Pasar Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951)
Keluarga Gerilya (1951)
Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
Perburuan (1950)
Cerita dari Blora (1952)
Gadis Pantai (1965)
Nh. Dini
Dua Dunia (1950)
Hati jang Damai (1960)
Sitor Situmorang
Dalam Sadjak (1950)
Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
Mochtar Lubis
Tak Ada Esok (1950)
Jalan Tak Ada Ujung (1952)
Tanah Gersang (1964)
Si Djamal (1964)
Marius Ramis Dayoh
Putra Budiman (1951)
Pahlawan Minahasa (1957)
Ajip Rosidi
Tahun-tahun Kematian (1955)
Ditengah Keluarga (1956)
Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
Cari Muatan (1959)
Pertemuan Kembali (1961)
Ali Akbar Navis
Robohnya Surau Kami – 8 cerita pendek pilihan (1955)
Bianglala – kumpulan cerita pendek (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967) Toto Sudarto Bachtiar
Etsa sajak-sajak (1956)
Suara – kumpulan sajak 1950-1955 (1958)
Ramadhan K.H
Priangan si Jelita (1956)
W.S. Rendra
Balada Orang-orang Tercinta (1957)
Empat Kumpulan Sajak (1961)
Ia Sudah Bertualang (1963)
Subagio Sastrowardojo
Simphoni (1957)
Nugroho Notosusanto
Hujan Kepagian (1958)
Rasa Sajangé (1961)
Tiga Kota (1959)
Trisnojuwono
Angin Laut (1958)
Dimedan Perang (1962)
Laki-laki dan Mesiu (1951)
Toha Mochtar
Pulang (1958)
Gugurnya Komandan Gerilya (1962)
Daerah Tak Bertuan (1963)
Purnawan Tjondronagaro
Mendarat Kembali (1962)
Bokor Hutasuhut
Datang Malam (1963)
Angkatan 1966 – 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966Taufik Ismail
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Tirani dan Benteng
Buku Tamu Musim Perjuangan
Sajak Ladang Jagung
Kenalkan
Saya Hewan
Puisi-puisi Langit
Sutardji Calzoum Bachri
O
Amuk
Kapak
Abdul Hadi WM
Meditasi (1976)
Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
Tergantung Pada Angin (1977)
Sapardi Djoko Damono
Dukamu Abadi (1969)
Mata Pisau (1974)
Goenawan Mohamad
Parikesit (1969)
Interlude (1971)
Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972)
Seks, Sastra, dan Kita (1980)
Umar Kayam
Seribu Kunang-kunang di Manhattan
Sri Sumarah dan Bawuk
Lebaran di Karet
Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
Kelir Tanpa Batas
Para Priyayi
Jalan Menikung
Danarto
Godlob
Adam Makrifat
Berhala
Nasjah Djamin
Hilanglah si Anak Hilang (1963)
Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)
Putu Wijaya
Bila Malam Bertambah Malam (1971)
Telegram (1973)
Stasiun (1977)
Pabrik
Gres
Bom Djamil Suherman
Perjalanan ke Akhirat (1962)
Manifestasi (1963)
Titis Basino
Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
Lesbian (1976)
Bukan Rumahku (1976)
Pelabuhan Hati (1978)
Pelabuhan Hati (1978)
Leon Agusta
Monumen Safari (1966)
Catatan Putih (1975)
Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978)
Hukla (1979)
Iwan Simatupang
Ziarah (1968)
Kering (1972)
Merahnya Merah (1968)
Keong (1975)
RT Nol/RW Nol
Tegak Lurus Dengan Langit
M.A Salmoen
Masa Bergolak (1968)
Parakitri Tahi Simbolon
Ibu (1969)
Chairul Harun
Warisan (1979)
Kuntowijoyo
Khotbah di Atas Bukit (1976)
M. Balfas
Lingkaran-lingkaran Retak (1978)
Mahbub Djunaidi
Dari Hari ke Hari (1975)
Wildan Yatim
Pergolakan (1974)
Harijadi S. Hartowardojo
Perjanjian dengan Maut (1976)
Ismail Marahimin
Dan Perang Pun Usai (1979)
Wisran Hadi
Empat Orang Melayu
Jalan Lurus
Angkatan 19801990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980
Ahmadun Yosi Herfanda
Ladang Hijau (1980)
Sajak Penari (1990)
Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
Sembahyang Rumputan (1997)
Y.B Mangunwijaya
Burung-burung Manyar (1981)
Darman Moenir
Bako (1983)
Dendang (1988)
Budi Darma
Olenka (1983)
Rafilus (1988)
Sindhunata
Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
Arswendo Atmowiloto
Canting (1986)
Hilman Hariwijaya
Lupus – 28 novel (1986-2007)
Lupus Kecil – 13 novel (1989-2003)
Olga Sepatu Roda (1992)
Lupus ABG – 11 novel (1995-2005)
Dorothea Rosa Herliany
Nyanyian Gaduh (1987)
Matahari yang Mengalir (1990)
Kepompong Sunyi (1993)
Nikah Ilalang (1995)
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
Gustaf Rizal
Segi Empat Patah Sisi (1990)
Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
Ben (1992)
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
Remy Sylado
Ca Bau Kan (1999)
Kerudung Merah Kirmizi (2002)
Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel — pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
Widji Thukul
Puisi Pelo
Darman
[sunting]
Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Sastrawan Angkatan 2000″. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
Ayu Utami
Saman (1998)
Larung (2001)
Seno Gumira Ajidarma
Atas Nama Malam
Sepotong Senja untuk Pacarku
Biola Tak Berdawai
Dewi Lestari
Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
Supernova 2.1: Akar (2002)
Supernova 2.2: Petir (2004)
Habiburrahman El Shirazy
Ayat-Ayat Cinta (2004)
Diatas Sajadah Cinta (2004)
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
Dalam Mihrab Cinta (2007)
Andrea Hirata
Laskar Pelangi (2005)
Sang Pemimpi (2006)
Edensor (2007)
Maryamah Karpov (2008)
[sunting]
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2010
Dengan lahirnya sastrawan angkatan 2000an maka sebagai tindak lanjut perkembangan sastra di Indonesia maka pada tahun 2010 tumbuhlah sastrawan angkatan 2010 yang akan bersama dengan sastrawan angkatan 200an untuk memperjuangkan hak-hak penulis dan dari karya yang banyak berebdeli karena terkait kondisi politik dan ekonomi negara serta tindak-tindak kriminal angkataaaaan ini di pelopori Tosa spd.diantara sastrawan angkatan 2010 antara lain sebagai berikut
Tosa spd
lukisan jiwa (2009)Antologi puisi
melan conis (2009)
Toni Saputra
Nurani Soyo Mukti
[sunting]
Cybersastra
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia di dunia maya.
Karya Sastra dan Periodisasinya
A. Karya Sastra Bentuk Prosa
Karangan prosa ialah karangan yang bersifat menerangjelaskan secara terurai mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Pada dasarnya karya bentuk prosa ada dua macam, yakni karya sastra yang bersifat sastra dan karya sastra yang bersifat bukan sastra. Yang bersifat sastra merupakan karya sastra yang kreatif imajinatif, sedangkan karya sastra yang bukan astra ialah karya sastra yang nonimajinatif.
Macam Karya Sastra Bentuk Prosa
Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru.
Perbedaan prosa lama dan prosa baru menurut Dr. J. S. Badudu adalah:
Prosa lama:
1. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.
2. Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat feodal).
3. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi.
4. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.
5. Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)
6. Milik bersama
Prosa Baru:
1. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangaN masyarakat)
2. Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari)
3. Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan
4. Terutama dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
5. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas
6. Tertulis
1. Prosa lama
Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula-mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.
Bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:
a. Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul
b. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
c. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
d. Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah.
e. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
f. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
Prosa Baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.
Berdasarkan isi atau sifatnya prosa baru dapat digolongkan menjadi:
1. Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam
2. Riwayat adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup orang sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Contoh: Soeharto Anak Desa atau Prof. Dr. B.I Habibie atau Ki hajar Dewantara.
3. Otobiografi adalah karya yang berisi daftar riwayat diri sendiri.
4. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
5. Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.
6. Cerpen adalah suatu karangan prosa yang berisi sebuah peristiwa kehidupan manusia, pelaku, tokoh dalam cerita tersebut. Contoh: Tamasya dengan Perahu Bugis karangan Usman. Corat-coret di Bawah Tanah karangan Idrus.
7. Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya.
8. Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan kriteria tertentu yangs ifatnya objektif dan menghakimi.
9. Resensi adalah pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya (buku, film, drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog, dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
10. Esei adalah ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas lalu berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni, fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.
B. Puisi
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi adalah
a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi
d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris
f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi
g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-api, dll.)
h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan
i. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
a. puisi lama
Ciri puisi lama:
1. merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya
2. disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan
3. sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima
Yang termausk puisi lama adalah
1. mantra adalah ucapan-ucapan yangd ianggap memiliki kekuatan gaib
2. pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka
3. karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek
4. seloka adlah pantun berkait
5. gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat
6. syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita
7. talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris
b. puisi baru
Puisi baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah baris, suku kata, maupun rima.Menurut isinya, puisi dibedakan atas
1. balada adalah puisi berisi kisah/cerita
2. himne adAlah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan
3. ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang ebrjasa
4. epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
5. romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
6. elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
7. satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik
Membaca Puisi
Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membaca puisi antara lain:
1. jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll.,
2. pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan, pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam, keadilan, kemanusiaan, dll.,
3. pemahaman puisi yang utuh,
4. pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, meliputi poetry reading, deklamasi, dan teaterikal
5. tempat acara: indoor atau outdoor,
6. audien,
7. kualitas komunikasi,
8. totalitas performansi: penghayatan, ekspresi( gerak dan mimik)
9. kualitas vokal, meliputi volume suara, irama (tekanan dinamik, tekanan nada, tekanan tempo)
10. kesesuaian gerak,
11. jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, maka harus memperhatikan:
a) pemilihan kostum yang tepat,
b) penggunaan properti yang efektif dan efisien,
c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,
d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi
C. Drama/Film
Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema, amanat/pesan, plot/alur, perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para pemain).
D. Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode) memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain.
1. Zaman Sastra Melayu Lama
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain.
2. Zaman Peralihan
Zaman ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja, tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api, Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban.
3. Zaman Sastra Indonesia
a. Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)
Ciri umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat antara kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu, bercorak aliran romantik sentimental.
Tokohnya adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena Aku Seorang Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’bah), Tulis Sutan Sati (novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel Kehilangan Mestika), Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim (kumpulan cerpen Teman Duduk)
b. Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)
Cirinya adalah 1) bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern, 2) temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum intelek, dan sebagainya, 3) bentuk puisinya adalah puisi bebas, mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris, 4) pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda, 5)aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan 6) setting yang menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Tokohnya adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak Kunjung Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru), M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari), Y.E. Tatengkeng (kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).
c. Angkatan ’45
Ciri umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya.
Tokohnya Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja (novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya), Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera)
d. Angkatan ’66
Ciri umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik, menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.
Tokohnya adalah W.S. Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani, kumpulan puisi Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navis (novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang), Mangunwijaya (novel Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel Ziarah), Mochtar Lubis (novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo (novel Raumannen).
E. Identifikasi Moral, Estetika, Sosial, Budaya Karya Sastra
1. Identifikasi Moral
Sebuah karya umumnya membawa pesan moral. Pesan moral dapat disampaikan oleh pengarang secara langsung maupun tidak langsung. Dalam karya satra, pesan moral dapat diketahui dari perilaku tokoh- tokohnya atau komentar langsung pengarangnya lewat karya itu.
2. Identifikasi Estetika atau Nilai Keindahan
Sebuah karya sastra mempunyai aspek-aspek keindahan yang melekat pada karya sastra itu. Sebuah puisi, misalnya: dapat diamati aspek persamaan bunyi, pilihan kata, dan lain-lain. Dalam cerpen dapat diamati pilihan gaya bahasanya.
3. Identifikasi Sosial Budaya
Suatu karya sastra akan mencerminkan aspek sosial budaya suatu daerah tertentu. Hal ini berkaitan dengan warna daerah. Sebuah novel misalnya, warna daerah memiliki corak tersendiri yang membedakannya dengan yang lain. Beberapa karya sastra yang mengungkapkan aspek sosial budaya:
a. Pembayaran karya Sunansari Ecip mengungkapkan kehidupan di Sulawesi Selatan.
b. Bako Karya Darman Moenir mengungkapkan kehidupan Suku Minangkabau di Sumatera Barat.
eriodisasi Sastra Indonesia – Presentation Transcript
Periodisasi Sastra Indonesia
Oleh:
Alexander Gotama
Deviana Maria
Fiona Angelina
Rafaello Simorangkir
Menurut HB. Jassin
Periodisasi Sastra
Pengertian:
penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
Periodisasi sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya kreatifnya.
Periodisasi Sastra
Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
HB. Jassin
Ajip Rosidi
A. Teeuw
Rahmat Djoko Pradopo
Yang akan dibahas dalam presentasi ini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin.
HB. Jassin , kritikus Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia Menurut HB. Jassin
Berikut ini adalah periodisasi sastra menurut HB. Jassin:
Sastra Melayu Lama
Sastra Indonesia Modern
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan ’45
Angkatan ‘66
Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu Lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad 20.
Ciri-ciri Sastra Melayu Lama:
Masih menggunakan bahasa Melayu
Umumnya bersifat anonim
Berciri istanasentris
Menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dsb.
Sastra Melayu Lama
Contoh sastra pada masa Sastra Melayu Lama:
Dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, binatang jadi-jadian, dsb.
Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.
Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai oleh Hamzah Fansuri.
Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji
Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan titik tolak kesustraan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
Menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh bahasa Melayu
Persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa
Dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal
Cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat. Balai Pustaka berhak mengubah naskah apabila dipandang perlu.
Contoh hasil sastra yang mengalami pen-sensoran adalah Salah Asuhan oleh Abdul Muis yang diubah bagian akhirnya dan Belenggu karya Armyn Pane yang ditolak oleh Balai Pustaka karena tidak boleh diubah.
Angkatan Balai Pustaka
Contoh sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka:
Roman
Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
Muda Teruna (M. Kasim)
Salah Pilih (Nur St. Iskandar)
Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
Kumpulan Puisi
Percikan Permenungan (Rustam Effendi)
Puspa Aneka (Yogi)
Angkatan ‘45
Angkatan ’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
Terbuka
Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
Corak isi lebih realis, naturalis
Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
Penghematan kata dalam karya
Ekspresif
Sinisme dan sarkasme
Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Chairil Anwar , sastrawan Angkatan ‘45
Angkatan ‘45
Contoh sastra pada masa Angkatan ’45:
Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)
Deru Campur Debu (Chairil Anwar)
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)
Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)
Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)
Tandus (S. Rukiah)
Puntung Berasap (Usmar Ismail)
Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)
Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)
Dalam Sajak (Sitor Situmorang)
Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)
Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
Banyak karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra, seperti munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lainnya.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
Bercorak membela keadilan
Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
Berontak
Pembelaan terhadap Pancasila
Protes sosial dan politik
Angkatan ‘66
Contoh sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Putu Wijaya
Pabrik
Telegram
Stasiun
Iwan Simatupang
Ziarah
Kering
Merahnya Merah
Djamil Suherman
Sarip Tambak-Oso
Perjalanan ke Akhirat
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Pada masa ini, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
Kelompok “Seni untuk Seni”
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”
Angkatan Pujangga Baru
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:
Sudah menggunakan bahasa Indonesia
Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Angkatan Pujangga Baru
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
Tuti adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Angkatan Pujangga Baru
Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:
Perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
Masalah yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian. Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya sosial.
Angkatan Pujangga Baru
Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.
Puisi “Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Ada pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.
Sanusi Pane , pengarang puisi “ Dalam Gelombang”
Angkatan Pujangga Baru
Ditinjau dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait terakhir.
Sementara itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.
Jika Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang penuh ketenangan.
Angkatan Pujangga Baru
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.
… Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa Gelombang Oleh Sanusi Pane
Angkatan Pujangga Baru
Amir Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.
Selain Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .
Sastrawan dan Hasil Karya
Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:
Sultan Takdir Alisjahbana
Contoh: Di Kakimu, Bertemu
Sutomo Djauhar Arifin
Contoh: Andang Teruna (fragmen)
Rustam Effendi
Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil
Asmoro Hadi
Contoh: Rindu, Hidup Baru
Hamidah
Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)
Sastrawan dan Hasil Karya
Amir Hamzah
Contoh: Sunyi, Dalam Matamu
Hasjmy
Contoh: Ladang Petani, Sawah
Lalanang
Contoh: Bunga Jelita
O.R. Mandank
Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam
Mozasa
Contoh: Amanat, Kupu-kupu
Presentasi selesai sampai di sini–
JTerima kasih atas waktu yang telah diluangkan untuk mendengarkan presentasi kelompok kami
PERIODISASI SASTRA INDONESIA
MENURUT NUGROHO NOTOSUSANTO
Kesusastraan Melayu Lama
Kesusastraan Indonesia Modern
Masa Kebangkitan
Periode 1920
Periode 1933
Periode 1942
Masa Perkembangan
Periode 1945
Periode 1950
MENURUT AJIP ROSIDI
Masa Kelahiran
Periode awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1933
Periode 1933 s.d. 1942
Periode 1942 s.d. 1945
Masa Perkembangan
Periode 1945 – 1953
Periode 1953 – 1960
Periode 1960 – sekarang
MENURUT HB. JASSIN
Kesusastraan Melayu Lama
Kesusastraan Indonesia Modern
Angkatan 20
Angkatan 33 atau Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 45
Angkatan 66
MENURUT JS. BADUDU
Kesusastraan Lama
Kesusastraan Masa Purba
Kesusastraan Masa Hindu-Arab
Kesusastraan Peralihan
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
Angkatan Balai Pustaka
Kesusastraan Baru
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Modern (Angk. 45)
Angkatan Muda
MENURUT SABARUDDIN AHMAD
Kesusastraan Lama
Dinamisme
Hinduisme
Islamisme
Kesusastraan Baru
Masa Abdullah bin Abdul-kadir Munsyi
Masa Balai Pustaka
Masa Pujangga Baru
Masa Angkatan 45
MENURUT ZUBER USMAN
Kesusastraan Lama
Zaman Peralihan (Masa Abdul-lah bin Abdulkadir Munsyi)
Kesusastraan Baru
Zaman Balai Pustaka
Zaman Pujangga Baru
Zaman Jepang
Zaman Angkatan 45
MENURUT USMAN EFFENDI
Kesusastraan Lama ( … sampai dengan 1920)
Kesusastraan Baru (1920 sampai dengan 1945)
Kesusastraan Modern (1945 sampai dengan …)
MENURUT ZAIDAN HENDY
Sastra Lama
Sastra Kuno
Sastra Zaman Hindu
Sastra Zaman Islam
Sastra Peralihan (Abdullah bin Abdulkadir Munsyi)
Sastra Baru
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 45
Angkatan 66
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia
Menurut Para Ahli
Ada berbagai macam periodisasi sastra Indonesia menurut para ahli. Secara umum, periodisasi sastra Indonesia dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Sastra lama (2) Sastra peralihan, dan (3) Sastra Indonesia Baru. Sastra Lama dibedakan menjadi tiga (a) sastra jaman purba, (b) sastra pengaruh Hindu, dan (c) sastra pengaruh Islam. Sementara sastra peralihan sering disebut dengan sastra jaman Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia baru bias dibedakan menjadi (a) sastra balai pustaka (angkatan 20), (b) sastra Pujangga Baru (angk. 30), (c) Sastra Angk. 45, (d) Sastra Angk. 66, dan (e) Sastra kontemporer (angk. 70-an).
Menurut B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu (1) Sastra lama.purba, (2) Sastra pengaruh Hindu dan Arab, (3) Sastra Indonesia baru, dan (4) Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih bias dirinci menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, dan (c) Pujangga Baru
Menurut Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi 2. yaitu sastra lama dan (2) sastra baru. Sastra lama mencakup (a. dinamisme, (b) Hinduisme, (c) Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru dibedakan menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, (c) Pujangga Baru, dan (c) Sastra angkatan 45.
Menurut JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Sastra Melayu, dan (2) Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu dibedakan menjadi 3 (a) Purba, (b) Hindu/Islam, (c) Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi (a) Balai Pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angk. 45, dan (d) sesudah Angk. 45.
Menurut Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni (1) sastra lama (…. – 1920), (2) Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan (3) Sastra Indonesia Modern (1945 – …..)
Menurut HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni (1) Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan (2) Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian (a) Balai pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angkatan 45, dan (d) Angkatan 66.
Lain Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia menjadi 2, yakni (1) sastra Melayu atau sastra lama, dan (2) sastra Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi 2 yaitu (a) masa kebangkitan, dan (b) masa perkembangan. Masa kebangkitan masih dirinci menjadi 3 (i) periode 20, (ii) periode 33, dan (iii) periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2, yaitu (i) periode 45 dan (ii) periode 50
Ajib Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu (1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan. Masa kelahiran dirinci menjadi 3 yaitu (a) awal abad XX s/d 1933, (b) 1933-1942, dan (c) 1942 – 1945. Sedangkan masa perkembangan dibedakan juga menjadi 3, yaitu (a) 1945 – 1953, (b) 1953 – 1960, dan (c) 1960 – ….
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M.C. (15 Oktober 1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan.
Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (15 Oktober 1991). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo.
Yudiono (15 Oktober 2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Lekra
Lembaga Kebudayaan Rakyat yang didirikan 17 Agustus 1950 di Jakarta. Mempakan organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI (Partai Komunis Indonesia). Lembaga ini mempakan federasi seni non pemerintah yang jelas berorientasi pada Komunis dengan dana yang cukup memadai, dengan sumber-sumbernya yang tak dapat dilacak dengan mudah. Orang yang pernah menjadi Sekretaris Jenderalnya (1950-1959) antara lain A.S. Dharta. Pada waktu berdirinya, tercatat 15 seniman yang berdiri dibelakangnya, antara lain Joebaar Ajoeb, A.S. Dharta, M.S. Ashar, Herman Arjuno, Njoto dll. Lekra memiliki devisi sastra, seni rupa, seni suara, seni drama, seni film, filsafat dan olah raga.
Lekra termasuk anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional tapi Lekra sebagai organisasi lebih ketat daripada BMKN. Lembaga ini telah mendirikan 18 cabang di propinsi yang dikepalai oleh perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota lokal. Lembaga ini dalam perkembangannya menjadi sebuah badan yang homogen yang diikat dengan erat oleh ideologi Lekra. Cabang-cabang tersebut memiliki seksi yang disebut realis dinamo, yakni sebuah kelompok yang aktif dalam produksi pertunjukan-pertunjukan populer yang menghibur yang disulam dengan propaganda.
Konsep dasar sastra Lekra adalah (1) Seni untuk rakyat: sastra mengabdi dan memo bela kepentingan kaum buruh dan kaum tani yang digambarkan tertindas oleh kaum borjuis, kaum feodal dan kaum kapitalis. Sastra ini memusuhi kaum penindas, di samping kaum agama dan sastra yang berhaluan humanisme-universal; (2) Politik adalah panglima: kepentingan politik komunis di atas segalanya. Sastra Lekra tunduk kepada kepentingan PKI. Semboyan sastra Lekra dalam hal ini adalah "Kesalahan politik lebih jahat daripada kesalahan artistik"; (3) Meluas dan meninggi: meluas artinya sastra harus setia kepada kaum buruh dan kaum tani, sedangkan meninggi berarti sastra harus seimbang antara kreatifitas dengan peningkatan ideologi PKI; (4) Gerakan turun lee bawah: sastrawan Lekra harus mengenal kaum tani dan kaum buruh secara objektif dan baru mengengkatnya dalam karya sastra; (5) Organisasi: kedudukan organisasi penting membentuk seorang sastrawan sosialis. Dalam organisasi tersebut para sastrawan dapat saling memberikan kritik, saling memberi dan menerima. Lekra memiliki wadah sastra untuk melakukan kegiatannya, antara lain, Harian Rakyat, Sunday Courier, Bintang Timur, majalah Jaman Baru. Tokoh-tokoh sastrawan Lekra adalah A.S. Dharta alias Klara Akustia alias Yogaswara, Agam Wispi, S. Regar, Rumambi, dll. Sastrawan di luar Lekra yang berhasil "ditarik" ke dalam Lekra adalah Pramoedya Ananta Toer, S. Rukiyah dan Utuy Tatang Sontani. Setelah kegagalan pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965, Lekra bersama PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Semua karya sastra Lekra dilarang di Indonesia.
Sejarah sastra angkatan 66
Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang. Sebut saja Muh. Yamin dan Roestam Effendi dan beberapa penulis lain. Demikian juga para pengarang pujangga baru. Mereka adalah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang tidak berpolitik. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik yang tajam.1 A. Angkatan ’66 dalam Perangkap Politik

Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme-sosialis yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”. Orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.
Di antara polemik-polemik itu, karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka, maka yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.
Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Di antara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh, antara lain: H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja.
Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.
Dalam gelanggang percaturan politik, PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.2
Dalam usaha mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan, PKI mengerahkan segala kekuatan di segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham. Maka, disusunlah konsep ”Manifes Kebudayaan” oleh Wiratmo Soekito pada tanggal 17 Agustus 1963 yang akhirnya didiskusikan dengan beberapa penulis, pelukis, pengarang dan seniman, di antaranya: H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Moehammad, Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arif Budiman), Ras Siregar, D.S. Moeljanto, Sjahwil, dan Djufri Tanissan, dalam sebuah pertemuan di Jl. Raden Saleh 19, pada tanggal 23-24 Agustus pada tahun yang sama.3
Dari hasil pertemuan itu, lahirlah manifes kebudayaan yang isinya kurang lebih berupa pernyataan bahwa kesenian (kesusastraan) Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia, atau melihat setahun sebelumnya, ketika Majelis Seniman dan Budayawan Islam pernah mengatakan bahwa tujuan kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada khususnya tidaklah semata bertujuan \"seni untuk seni\" atau \"seni untuk rakyat\" tetapi harus diluhurkan menjadi, \"seni untuk kebaktian ke hadirat Allah\"; sebaiknya tidak dimaknai dengan menggunakan kerangka berpikir yang dogmatis. Ada satu hal yang perlu digaris bawahi dalam kedua pernyataan di atas, yaitu bahwa kesusastraan Islam, kalaupun berawal dari manusia muslim, pada akhirnya adalah umat manusia secara universal. Di sini ada usaha untuk merobek tirai dogmatisme baik dalam kesastraan ataupun keislaman itu sendiri.4
Manifes kebudayaan ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.5 Istilah ‘Manikebuis’ menjadi populer digunakan untuk menuduh seseorang kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.
Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966.
Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit Majalah Horison yang dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin. Terbit pula Majalah Cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit Majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.

B. Tentang Para Pengarang Lekra

Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.
Selain ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dipimpin oleh Rivai Apin, S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian Kebudayaan Baru yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan.
Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar Bintang Timur minggu, yang resminya ialah koran Partindo.6
Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Aidit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncul selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, Bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain. AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra.7
Bachtiar Siangin banyak menulis Sandiwara. Ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).
S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964).
Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).
Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954). Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis
LEKRA
Yang mereka tulis, mereka bukukan sekemampuan kadarnya. Yang mereka alami, mereka tuangkan dalam bentuk yang bisa diraba. meski untuk belasan hingga puluhan tahun, mereka simpan itu semua di dalam tanah. dengan botol berisi gulungan kertas puisi. berisi lukisan. keratan pada kayu gitar. sulaman taplak meja. bahkan surat-surat yang datang sekali dalam dalam sebulan pun menjadi jimat (siji dirumat, satu hal yang dipelihara). karena dari itu semua, mereka bisa paparkan apa sesungguhnya yang terjadi dalam masa penderitaan di tahanan sepi, bercinta dengan ular, nyamuk, katak, serangga, dan kelelawar.
renta tubuh mereka, kini, menatap gambar dan tulisan itu terpajang di gedung mewah dibanding pada masa mereka berkarya dulu. Renta tubuh tertatih tatih dalam ruang berbagi. kulit legam menorehkan sisa derita. tubuh bungkuk berbalut tulang. gigi hitam berlubang dan ompong, mewarnai tawa, senyum, dalam kegetiran dan pancaran mata yang masih menyiratkan setitik harapan, kapan aku dinyatakan oleh penguasa aku adalah warga terhormat.
bertahun mereka mendapati ternyata saat dalam penghidupan kini pun masih menjumpai benteng-benteng, tembok-tembok kukuh, berpenjaga lars sepati dan laras senapan. hanya aroma rokok dan udara yang seolah-olah segar yang menyapu masa lalu makin tak terlupakan. Aroma harum minyak wangi impor bahkan minyak wangi palsu yang menjamur di mana-mana, menenggalamkan bau-bau anyir darah yang terus mendelewer dan mengalir dalam gorong-gorong mengering hitam menjadi tato tak bernyawa.
Mereka menjadi rajin berkumpul untuk melakukan perbincangan-perbincangan antar mereka, agar perjuangan mereka yang telah mengkandaskan nasib kembali dibangkitkan. Namun sejarah telah melangkah begitu jauh sehingga tidak ada kata tidak bagi mereka kecuali hanya sekedar bernostalgia. Kenangan itu Membayangkan Keperkasaan.
Seringkali dalam perbincangan mereka mereka menjadi teringat akan masa lalu mereka. Ketika mereka masih muda dan perkasa, begitu banyak kegiatan yang sanggup mereka jalankan. Tidak salah dulu mereka merasakan hal itu karena memang pada saat itu kelompoknyalah yang berkuasa. Dan sanggup membuat kebijakan-kebijakan yang kadang mampu membuat lawan kelompoknya keder, dan mesti menyusun strategi berlipat-lipat sebagai kebalikan dari gerakan yang mereka lancarkan.
Pada masanya ada di antara mereka yang menjadi wartawan koran yang berafiliasi pada PKI. Ia menampakkan kesungguh-sungguhan dalam hidup sebagai penulis berita itu. Pada masa itu ia sungguh-sungguh mendapat kepuasan sebagai manusia yang punya ideologi. Masa itu adalah masa yang akan selalu diimpikan sebagai masa penuh kekuatan dan kekuasaan. Dan ia yakin seyakin-yakinnya, semua masa akan baka, bahkan sampai kapanpun ia akan sangat menikmati profesinya semacam ini.
Meski, kenyataan terbukti bicara seratus delapan puluh derajat terhadap nasib mereka.
Hingga, masa kini sudah masa yang terlalu jauh dan lama rentang waktunya dari masa mereka dulu beraktivitas dan menjadi incaran lawan politik mereka.
Undangan demi undangan sering dikirim pada teman-teman senasib. Pertemuan demi pertemuan diadakan di tempat-tempat mereka secara bergantian. Pembicaraan demi pembicaraan dilakukan dengan penuh semangat. Tak ada lagi rasa takut dan kekhawatiran mereka. Meski kadang-kadang masih juga muncul suara-suara perlawanan terhadap mereka yang notabene dianggap sebagai underbouw PKI, partai yang dianggap terlarang dan dihukum tanpa pengadilan yang adil.
Apapun, mereka masih meraba-raba apa yang akan mereka lakukan selanjutnya dengan kegiatan-kegiatan mereka. Namun toh, meski mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya menjadi pencarian mereka, mereka terus saja melakukan. Sebab dunia toh akan selalu berputar dan kehidupan mereka juga masih saja membutuhkan sentuhan-sentuhan dalam detak jantung dan irama aliran darah yang terus mengalir.
Tak apa-apa meski seolah langit suram. Kegiatan akan jalan terus. Toh semua tetap pada edar masing-masing. Ada yang menjadi kelompok besar dan berkuasa. Ada yang cukup menjadi kelompok kecil yang tetap pada ranah edar. Ada yang mungkin hanya menjadi penggembira. Siapa tahu, ketika jaman terus berputar dan banyak pilihan-pilihan selanjutnya, mereka dapat memilih untuk menjadi pemenang. Meski diketahui, menjadi pemenang adalah awal dari kedatangan kekalahan, bila gagal mempertahankannya.
Anak-anak mereka yang diharapkan mengerti, paham dan menggantikan sukma yang telah teraniaya, apakah mereka mampu menahan getir dan derita ini? ada banyak di antara mereka berteman dengan berbagai anak muda dari golongan yang makin tak terbatas. bahkan dari kalangan yang orang tuanya adalah pemenggal-pemenggal kepala. bahkan anak-anak derita itu acapkali adalah juara yang memimpin anak pemenggal kepala.
Kata mereka tentang anak-anak mereka, “Apa yang bisa diharapkan dari anak-anakku kini? terlalu lama mereka menjadi juara lomba-lomba doktrinasi paham negara yang dipaksakan dijabarkan dalam butir-butir palsu. nyata kepalsuan itu ketika nyatanya yang terjadi di bumi negeri ah........”
“Sungguhkan darahku tidak lagi menghidupkan anakku?”
Ada sebuah harapan bahwa anak-cucu lah yang bakal melanjutkan perjuangan yang mereka lakukan. Mungkin anak cucu itu tidak tahu apalagi paham bahwa sesungguhnya perjuangan mereka sebagai orang tua dan moyang dari sebuah pergerakan penuhlah dengan romantika dan bahaya. Sungguh mereka mungkin tidak mengerti apa yang menjadi pergulatan mereka pada masa muda para pejuang ini.
Apapun, tetap ada harapan. Apapun, yang namanya perjuangan untuk sebuah kebenaran adalah baik, dan nilai-nilai kebenaran adalah nilai-nilai universal yang siapapun pasti akan mempunyai rasa untuk memiliki.
Soal sejarah kelam ini, generasi muda saat ini terbelah jadi beberapa bagian.
ada yang ingin bersikap obyektif menganggap tidak tau apa sebenarnya yang terjadi soal tragedi 65, pertarungan elit politik dan lain-lain sangat ruwet, sehingga meraka lebih baik menyulam masa depan sendiri dengan melihat sejarah ini sebagai pelajaran, dan punya masa sendiri untuk memperjuangkan nilai--nilainya.
ada yang apatis karena menganggap itu bagian dari masa kelam yang mereka tak tahu. Bahkan untuk menghargai karya-karya yang besar mencerminkan kesungguhan hidup bangsa ini pada masa keemasaan kebanggannya, anak generasi mudah tiadalah tahu dan mau. ketakutan masih menghantuimereka begitu mendengar nama-nama kiri.
begitu mendengar karya-karya yang tak pernah mereka dengar, mereka hanya numpang lewat, mengernyit, mencibir, atau serius, tergantung pencirian sikap mereka terhadap karya-karya masa nasionalisme begitu tinggi.
karya-karya besar itu pun mereka tidaklah tahu. mengais-ngais karya itu dalam pameran buku korban di jakarta tahun lalu, menyisakan kenelangsaan dunia perbukuan. begitu banyak nyawa sastra dan kesaksian yang tidak menancap di kalangan kebanyakan generasi muda masa kini yang bahkan sudah terseret dalam perseks-an dunia perbukuan. karya-karya cerpen di koran tiap hari, di kumpulan cerpen rakyat ini, chicklit dan teenlit, mana ada yang menggambarkan pergulatan kebanggan bangsa ini. Apalagi dunia global yang sudah meracuni setiap hembusan nafas, pandang mata dan telinga melalui televisi yang berharga sangat murah, bahkan peswat elektronik apapun sampai internet yang memacu bersliwerannya informasi begitu mudah, membuat tak ada tempat bagi suara ideologi yang ketinggalan jaman.
Ada yang apatis karena trauma terhadap derita orang-orang dekatnya.
ada yang ingin melanjutkan perjuangan dan menanggung hutang dosa bila tak ikut empati dan melanjutkan perjuangan orang tua mereka yang menjadi korban.
Namun apa yang diharapkan tidak selamanya menjadi kenyataan. Anak cucu mereka tidak sepenuhnya dapat menerima kenyataan ternyata untuk mengharap pulihnya status mereka dalam berkesenian, tidaklah seperti yang digaungkan bahwa mereka bersih tanpa cacat cela. Bahwa kehidupan mereka tidaklah semata-mata untuk suatu ideologi, namun juga lebih pada kesenangan duniawi, tepatnya kebutuhan duniawi. Mengapa begitu ternyata setelah ada harapan pemulihan status mereka, mereka mau-mau saja membayar jutaan rupiah kepada orang yang katanya bersedia membantu mereka mendapatkan hak pensiun.
Maka kata anak mereka, “Aku tidak mau papa terlibat lagi pada gerakan itu. Meskipun hanya untuk kumpul-kumpul. Aku tidak mau perasaan mama menderita hanya karena papa masih suka membicarakan dan berkumpul tentang pergerakan yang telah dibasmi sampai ke akar-akarnya itu. Sungguh sakit semua telah menjadikanku serba sakit hanya karena telah dianiaya tanpa alasan yang berdasar. Aku ingin Mama dan Papa kehidupannya tenang di hari tua ini.”
ada yang berlawanan dengan nilai-nilai derita paa korban, menganggap memang mereka layak untuk mendapat ganjaran itu karena dosa-dosa mereka terhadap lawan dan negara.
Beberapa gerakan anak masa kini sudah membuahkan pahit, mereka menajdi sangat tertindas. Hanya karena membicarakan buku-buku berhaluan kiti, toko buku penyelenggara diserbu oleh massa. Karyawan tokonya yang notabene adalah aktivis juga tidak ketahuan rimbanya. Dicari beberapa kali dalam kota, tidak ketemu. Bahkan sampai beberapa hari.
Namun tetap muncul veteran-veteran yang mau menjadi nabi di tengah kegersangan wacana kemanusiaan dan nasionalisme. sungguh sebetulnya sangat terlambat.
namun apa boleh buat, Martin Aleida sudah begitu bertahun-tahun harus gerilya dalam menyalurkan gelisah resahnya di berbagai institusi, dan baru akhir-akhir ini menyuarakan secara terang-
terangan apa yang ada di ulu hatinya.
apa boleh dikata, Putu Oka Sukanta terlalu lama memacari nyamuk di pulau Buru, dan lahir kembali dalam dasa warsa belakangan ini, lalu kembali menyuarakan nyawanya yang nyaris terbang.
Sobron Aidit gencar meluncurkan berbagai pikirannya, apapun temanya, sehingga menyulitkan kaum kita melacak mau dibawa ke mana thema perjuangannya, yang secara meterai penggolongan sebetulnya sudah diketahui siapa ia.
Asahan Aidit pun mulai berkibar kembali dengan kisah-kisahnya meski untuk mewujudkan suatu penyatuan thematik untuk arah idealismenya membutuhkan waktu dan kesulitan tersendiri.
Harsutejo, Haryo Sasongko, menapak perjuangannya dengan kepenulisan yang punya warna sendiri, dan beberapa pengarang senafas lain pun melakukan penjejakan perjalanan melanjutkan apa yang telah diimani.
Banyak yang sulit untuk diucapkan namanya. meski pada masanya dulu mereka juga melakukan pergerakan kepenulisan yang lumayan menurut ukuran masing-masing.
Tentu saja nama-nama itu tak bakal bisa melampaui tinggi berkibarnya Pramoedya Ananta Toer yang ternyata dalam pengakuannya dulu ia mengaku tak ikut isme-isme pihak yang bertikai antara Lekra dan Manikebu, meski harus menanggung derita sebagai pihak terkalahkan.
Entah apa yang membuat Pram mengatakan ia bukan salah satu golongan yang kalah dalam sejarah berdarah itu. tetap saja ketahuan dari nafas kepenulisannya, sebetulnya apakah yang menjadi buah-buah pikir dan mau dibawa kemana tubuh dan jiwa bangsa ini oleh tulisan-tulisanPram.
Demikian juga para penulis yang lain, buah tak jatuh jauh dari pohonnya.. dari buahnya kita tahu pohon apa yang membuat mereka punya kegigihan menancapkan kuku-kuku penanya.
dan nilai luhur itu pasti tak bakal hilang begitu saja. apa yang hakaki pastilah akan bisa menggerakkan roh yang sama hakiki di tiap-tiap tubuh dan jiwa orang.
ketulusan untuk itu, mesti kita pertahankan. sebab, masakan yang menciptakaan tubuh, jiwa dan roh itu punya perbedaan pengenalan akan tubuh dan jiwa dan roh yang juga tulus.
memang tidak seterang bumi di siang hari, namun kita punya keyakinan masa selamanya malam menguasai bumi.
kita tak akan pernah berhenti berjuang dengan ketulusan dan kecerdikan. Kita akan terus dengungkan nilai-nilai kemanusiaan yang ditindas. tidak ada kata menyerah soal hal ini. kita sendiri sudah apatis soal rekonsiliasi, kalau ternyata tidak pernah ada pembuktian secara hukum, siapa yang salah dan dihukum.
Penguasalah yang sebetulnya bisa mewujudkan jalan ini untuk menunjukkan hal secara legal. Nelson Mandela misalnya, bisa berkuasa dan menghukum lalu mengampuni lalu terjadi rekonsiliasi. sementar adi Indonesia, pelaku pembantaian atau kroni-kroninya masih berkuasa, sedang korban keganasan pembantaian posisinya sangat lemah.
kita butuh pemimpin. pemimpin itu ratu adil yang akan menjadi seperti Nelson Mandela untuk bersikap. secara fisik kita tidak punya pemimpin yang berjiwa demikian. Mulai dari Gus Dur yang sudah mulai membuka peluang, diteruskan Megawati yang tidak mau memanfaatkan peluang, dan Kini kita hanya punya Presiden yang mencoba Moderat bagi semua.namun tak mau melakukan yang vital dengan tegas. Kalaupun tegas, keberpihakannya terlalu banyak kepentingan bagi semua partai di sekitarnya.
Kita butuh Pemimpin yang punya jiwa martir untuk membimbing bangsa ini keluar dari ketidak adilan dan kesewenang-weanangan. kita di sini hanyalah orang-orang yang akan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan, tidak peduli apapun latarbelakang kita. kita harus menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan yang secara hukum apapun mutlak diakui keberadaannya. Nilai keadilan harus kita terus suarakan. teruslah, dengan berbagai cara. secerdik-cerdiknya.
bukan untuk golongan. bukan untuk pribadi. bukan untuk partai. tapi untuk nilai-nilai ideal. dan nilai-nilai ideal itulah yang akan memimpin kita. teruslah suarakan nilai-nilai ideal itu. kita yakin semua orang termasuk saya dan saudara-saudara semua punya hati nurani yang kudus yang akan
memimpin kita........
Meski untuk itu tidak bakalan menjadi mudah. Terlalu banyak muncul arus perlawanan termasuk penuli-penulis dan pahlawan-pahlawan kesiangandari berbagai model termasuk para:
Beo Berranjang darah.
Pengabdian ala Sastrawan Lekra

Mengkaji keterkaitan antara karya sastra dengan kondisi sosio-budaya dan politik berarti melihat fungsi sosial sastra sebagai media propaganda yang dapat dijadikan sebagai media untuk mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat pembaca. Sastra menempati posisi sebagai suara yang mengajak (atau setidaknya memberikan informasi) untuk melakukan perubahan, menjaga stabilitas (dan) keharmonisan kehidupan, telah melahirkan cabang ilmu sastra baru. Cabang ilmu ini mengambil dasar pada sejarah dalam proses penciptaannya yang kemudian disebut dengan realisme sosialis.
Realisme sosialis menjadi faham di dalam sastra yang secara netral tidak memposisikan diri sebagai metode dalam proses penciptaan karya sastra, melainkan sebagai hubungan filsafat yang mana dijadikan landasan di dalam proses penggarapan karya sastra itu sendiri. Realisme di dalam realisme sosialis tidak diartikan sebagai konsep mengenai kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang diusung oleh realisme sosialis bukan kebenaran yang telah terjadi di dalam kehidupan realitas masyarakat, akantetapi lebih sebagai bentuk kebenaran yang sebatas bagian dari kebenaran di dalam proses dialektik.

Hubungan antara karya sastra dengan hal yang berada di luar sastra (katakan: politik) memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sastra sebagai media manifestasi dari perkembangan politik yang berlangsung di kehidupan masyarakat. Sastra sebagai media untuk memberikan pendidikan dan sekaligus juga perlawanan.
Kondisi ini pernah terjadi di Indonesia pada sekitar tahun 1955 – 1956, yang pada kondisi di masa itu telah menempatkan karya sastra sebagai lat pengukuhan atas suatu faham kepada masyarakat Indonesia. Kelompok sastrawan yang mengangkat politik sebagai bagian dalam proses penciptaan karya adalah golongan sastrawan yang menamakan diri dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada masa itu, kita mengenal Lekra sebagai golongan sastrawan yang menjadikan sastra sebagai alat propaganda Partai Komunis Indonesia. Di sisi lain, sastrawan Lekra lebih dikenal dengan karya sastra yang menyuarakan kemanusiaan yang di dalamnya juga mengandung unsur marxisme-leninisme.
Sastrawan Lekra menyatakan bahwa kebudayaan merupakan senjata yang mematikan demi terwujudnya revolusi kaum proletar. Slogan yang diusung oleh sastrawan Lekra, yang dikutip bebas oleh penulis, bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat dan revolusi. Filsafat marxisme-leninisme menjadi pedoman yang mendasar bagi penggarapan karya.
Sastra dalam pandangan sastrawan Lekra adalah karya yang di dalamnya memuat tiga-tinggi, yaitu tinggi ideologi (marxisme-leninisme), tinggi artistik, dan tinggi organisasi. Di dalam pandangan sastrawan Lekra, karya juga harus mengandung tiga-baik, yaitu baik bekerja, baik belajar, dan baik moral. Penilaian karya sastra (dan tentunya di dalamnya adalah seni secara umum) menggunakan metode yang berbunyi “politik sebagai panglima” yang mengatakan bahwa fungsi sastra harus mengabdi pada kepentingan revolusi yang mengacu pada filsafat MDH dan marxisme-leninisme.
Sastrawan Lekra memegang nilai moral, yang apabila menurut Sudisman yang termuat di dalam Pledoi Sudisman, dikatakan bahwa moral kaum marxis adalah norma atau ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai dengan kelasnya. Dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan Lekra memegang prinsip kemanusiaan, prinsip keadilan, dan kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan rakyat kecil. Sastrawan Lekra melakukan keberpihakan pada rakyat kecil melalui karya-karya yang mereka ciptaan, misalnya, Marco Kartodokromo. Pada saat kondisi politik memanas dan di dalamnya terjadi perseteruan antara Lekra dengan Sastrawan Manikebu, dengan terang-terangan sastrawan Lekra mempraktekkan teori Gorki yang menempatkan sastra sebagai senjata.
Setelah masa Lekra berakhir bersamaan dengan kegagalan Partai Komunis Indonesia (yang katanya) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan kudeta 30/S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga-puluh), banyak sastrawan Lekra yang ditangkap dan dibunuh. Terlepas dari tragedi 30 September dan yang memicu pembantain di hari yang menjadi moment kesaksian Pancasila, dapat dilihat, bahwa dengan karya sastranya, para sastrawan Lekra melakukan pengabdian bagi kemanusiaan. Pemihakkan pada nasib rakyat kecil menjadi agenda utama, yang dilakukan untuk menggalang kekuatan rakyat sipil untuk mewujudkan revolusi Indonesia. Akhir kata, pengabdian sastrawan Lekra harus mereka bayar dengan darah dan luka.
Doa serta salam, semoga mereka yang telah gugur mendapatkan balasan dan keadilan yang sebaik-baiknya dari yang memiliki hak atas mereka.
Continue Reading
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SELAMAT DATANG DI KUNYUK BERSAUDARA - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger