Sastra
Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya
sastra di Asia Tenggara. Istilah “Indonesia” sendiri mempunyai arti yang
saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di
wilayah tersebut.
Sastra
Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah
Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang
bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah
satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga
diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain
Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti
Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di
Singapura.
Periodisasi Sastra
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
(a) lisan
(b) tulisan
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
Angkatan Pujangga Lama
Angkatan Sastra Melayu Lama
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 1945
Angkatan 1950 – 1960-an
Angkatan 1966 – 1970-an
Angkatan 1980 – 1990-an
Angkatan Reformasi
Angkatan 2000-an
Angkatan 2010
Pujangga Lama
Pujangga
lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang
dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi
oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu
klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara
pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul
karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan.
Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama
angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII
muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah
karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin
ar-Raniri.[1]
Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah
Sejarah Melayu (Malay Annals)
HikayatHikayat Abdullah
Hikayat Aceh
Hikayat Amir Hamzah
Hikayat Andaken Penurat
Hikayat Bayan Budiman
Hikayat Djahidin
Hikayat Hang Tuah
Hikayat Iskandar Zulkarnain
Hikayat Kadirun Hikayat Kalila dan Damina
Hikayat Masydulhak
Hikayat Pandawa Jaya
Hikayat Pandja Tanderan
Hikayat Putri Djohar Manikam
Hikayat Sri Rama
Hikayat Tjendera Hasan
Tsahibul Hikayat
Syair
Syair Bidasari
Syair Ken Tambuhan
Syair Raja Mambang Jauhari
Syair Raja Siak
Kitab agama
Syarab al-’Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
Asrar al-’Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
Nur ad-Daqa’iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri
Sastra Melayu Lama
Karya
sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 – 1942, yang
berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti “Langkat, Tapanuli,
Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat
Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih
dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Karya Sastra Melayu LamaRobinson Crusoe (terjemahan)
Lawan-lawan Merah
Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)
Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
Kapten Flamberger (terjemahan)
Rocambole (terjemahan)
Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
Bunga Rampai oleh A.F van Dewall
Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe
Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya
Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)
Cerita Nyi Paina
Cerita Nyai Sarikem
Cerita Nyonya Kong Hong Nio Nona Leonie
Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
Cerita Rossina
Nyai Isah oleh F. Wiggers
Drama Raden Bei Surioretno
Syair Java Bank Dirampok
Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
Tambahsia
Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
Nyai Permana
Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan
Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak
tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman,
novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan
syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia
pada masa ini.
Balai
Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari
bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang
banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi
politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu
bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah
terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur
Sutan Iskandar dapat disebut sebagai “Raja Angkatan Balai Pustaka” oleh
sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah
asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel
Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah “novel Sumatera”, dengan
Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2]
Penulis
dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka [Merari Siregar] [Azab dan
Sengsara](1920) [Binasa kerna Gadis Priangan](1931) [Cinta dan Hawa
Nafsu] [Marah Roesli] [Siti Nurbaya](1922) [La Hami] (1924) [Anak dan
Kemenakan](1956 [Muhammad Yamin][Tanah Air (novel)|Tanah Air](1922)
[Indonesia, Tumpah Darahku] (1928) [Kalau Dewi Tara Sudah Berkata][Ken
Arok dan Ken Dedes] (1934) [Nur Sutan Iskandar][Apa Dayaku karena Aku
Seorang Perempuan] (1923) [Cinta yang Membawa Maut](1926) [Salah
Pilih](1928) [Karena Mentua](1932) [Tuba Dibalas dengan Susu]] (1933)
[Hulubalang Raja] (1934) [Katak Hendak Menjadi Lembu] (1935) [Tulis
Sutan Sati] [Tak Disangka](1923) [Sengsara Membawa Nikmat] (1928) [Tak
Membalas Guna](1932) [Memutuskan Pertalian](1932) [Adinegoro|Djamaluddin Adinegoro] [Darah Muda] (1927) [Asmara Jaya](1928) [Abas Soetan Pamoentjak] [Pertemuan](1927
[Abdul
Muis] [Salah Asuhan]] (1928) [Pertemuan Djodoh](1933) [Aman Datuk
Madjoindo] [Menebus Dosa](1932) [Si Cebol Rindukan Bulan] (1934)
[Sampaikan Salamku Kepadanya] (1935)
Pujangga Baru
Pujangga
Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh
Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut,
terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan
kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual,
nasionalistik dan elitis.
Pada
masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di
Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 – 1942), dipelopori
oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan
Pujangga baru yaitu :
Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
[sunting]
Penulis dan Karya Sastra Pujangga BaruSutan Takdir Alisjahbana
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran Mega – kumpulan sajak (1935)
Layar Terkembang (1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
Hamka
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939)
Tuan Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
Armijn Pane
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa
Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati – sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen (1953)
Sanusi Pane
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
Kertajaya (1932)
Tengku Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Setanggi Timur (1939) Roestam Effendi
Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan
Pertjikan Permenungan
Sariamin Ismail
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Anak Agung Pandji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
J.E.Tatengkeng
Rindoe Dendam (1934)
Fatimah Hasan Delais
Kehilangan Mestika (1935)
Said Daeng Muntu
Pembalasan
Karena Kerendahan Boedi (1941)
Karim Halim
Palawija (1944)
Angkatan 1945
Pengalaman
hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan
Angkatan ’45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya
Angkatan Pujangga baru yang romantik – idealistik. Karya-karya sastra
pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut
kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan
’45 memiliki konsep seni yang diberi judul “Surat Kepercayaan
Gelanggang”. Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan ’45
ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
Chairil Anwar
Kerikil Tajam (1949)
Deru Campur Debu (1949)
Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
Tiga Menguak Takdir (1950)
Idrus
Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
Aki (1949)
Perempuan dan Kebangsaan
Achdiat K. Mihardja
Atheis (1949)
Trisno Sumardjo
Katahati dan Perbuatan (1952)
Utuy Tatang Sontani
Suling (drama) (1948)
Tambera (1949)
Awal dan Mira – drama satu babak (1962)
Suman Hs.
Kasih Ta’ Terlarai (1961)
Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
Pertjobaan Setia (1940)
[sunting]
Angkatan 1950 – 1960-an
Angkatan
50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B.
Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan
cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun
1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada
angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang
bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra
realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan
diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960;
menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik
praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 – 1960-anPramoedya Ananta Toer
Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
Bukan Pasar Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951)
Keluarga Gerilya (1951)
Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
Perburuan (1950)
Cerita dari Blora (1952)
Gadis Pantai (1965)
Nh. Dini
Dua Dunia (1950)
Hati jang Damai (1960)
Sitor Situmorang
Dalam Sadjak (1950)
Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
Mochtar Lubis
Tak Ada Esok (1950)
Jalan Tak Ada Ujung (1952)
Tanah Gersang (1964)
Si Djamal (1964)
Marius Ramis Dayoh
Putra Budiman (1951)
Pahlawan Minahasa (1957)
Ajip Rosidi
Tahun-tahun Kematian (1955)
Ditengah Keluarga (1956)
Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
Cari Muatan (1959)
Pertemuan Kembali (1961)
Ali Akbar Navis
Robohnya Surau Kami – 8 cerita pendek pilihan (1955)
Bianglala – kumpulan cerita pendek (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967) Toto Sudarto Bachtiar
Etsa sajak-sajak (1956)
Suara – kumpulan sajak 1950-1955 (1958)
Ramadhan K.H
Priangan si Jelita (1956)
W.S. Rendra
Balada Orang-orang Tercinta (1957)
Empat Kumpulan Sajak (1961)
Ia Sudah Bertualang (1963)
Subagio Sastrowardojo
Simphoni (1957)
Nugroho Notosusanto
Hujan Kepagian (1958)
Rasa Sajangé (1961)
Tiga Kota (1959)
Trisnojuwono
Angin Laut (1958)
Dimedan Perang (1962)
Laki-laki dan Mesiu (1951)
Toha Mochtar
Pulang (1958)
Gugurnya Komandan Gerilya (1962)
Daerah Tak Bertuan (1963)
Purnawan Tjondronagaro
Mendarat Kembali (1962)
Bokor Hutasuhut
Datang Malam (1963)
Angkatan 1966 – 1970-an
Angkatan
ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar
Lubis.[3] Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran
sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus
kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak
membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan
pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah
Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto,
Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo
dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa
satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon
Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan
Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing
Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966Taufik Ismail
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Tirani dan Benteng
Buku Tamu Musim Perjuangan
Sajak Ladang Jagung
Kenalkan
Saya Hewan
Puisi-puisi Langit
Sutardji Calzoum Bachri
O
Amuk
Kapak
Abdul Hadi WM
Meditasi (1976)
Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
Tergantung Pada Angin (1977)
Sapardi Djoko Damono
Dukamu Abadi (1969)
Mata Pisau (1974)
Goenawan Mohamad
Parikesit (1969)
Interlude (1971)
Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972)
Seks, Sastra, dan Kita (1980)
Umar Kayam
Seribu Kunang-kunang di Manhattan
Sri Sumarah dan Bawuk
Lebaran di Karet
Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
Kelir Tanpa Batas
Para Priyayi
Jalan Menikung
Danarto
Godlob
Adam Makrifat
Berhala
Nasjah Djamin
Hilanglah si Anak Hilang (1963)
Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)
Putu Wijaya
Bila Malam Bertambah Malam (1971)
Telegram (1973)
Stasiun (1977)
Pabrik
Gres
Bom Djamil Suherman
Perjalanan ke Akhirat (1962)
Manifestasi (1963)
Titis Basino
Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
Lesbian (1976)
Bukan Rumahku (1976)
Pelabuhan Hati (1978)
Pelabuhan Hati (1978)
Leon Agusta
Monumen Safari (1966)
Catatan Putih (1975)
Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978)
Hukla (1979)
Iwan Simatupang
Ziarah (1968)
Kering (1972)
Merahnya Merah (1968)
Keong (1975)
RT Nol/RW Nol
Tegak Lurus Dengan Langit
M.A Salmoen
Masa Bergolak (1968)
Parakitri Tahi Simbolon
Ibu (1969)
Chairul Harun
Warisan (1979)
Kuntowijoyo
Khotbah di Atas Bukit (1976)
M. Balfas
Lingkaran-lingkaran Retak (1978)
Mahbub Djunaidi
Dari Hari ke Hari (1975)
Wildan Yatim
Pergolakan (1974)
Harijadi S. Hartowardojo
Perjanjian dengan Maut (1976)
Ismail Marahimin
Dan Perang Pun Usai (1979)
Wisran Hadi
Empat Orang Melayu
Jalan Lurus
Angkatan 1980 – 1990-an
Karya
sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai
dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol
pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa
angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa
sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain
adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira
Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky
Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya
Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh.
Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang
menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada
Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang
Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel
yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana
tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira
W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol
dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya,
tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan
novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad
ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu
mengalahkan peran antagonisnya.
Namun
yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang
beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori
oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang
ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik
membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada
nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang
dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah
Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980
Ahmadun Yosi Herfanda
Ladang Hijau (1980)
Sajak Penari (1990)
Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
Sembahyang Rumputan (1997)
Y.B Mangunwijaya
Burung-burung Manyar (1981)
Darman Moenir
Bako (1983)
Dendang (1988)
Budi Darma
Olenka (1983)
Rafilus (1988)
Sindhunata
Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
Arswendo Atmowiloto
Canting (1986)
Hilman Hariwijaya
Lupus – 28 novel (1986-2007)
Lupus Kecil – 13 novel (1989-2003)
Olga Sepatu Roda (1992)
Lupus ABG – 11 novel (1995-2005)
Dorothea Rosa Herliany
Nyanyian Gaduh (1987)
Matahari yang Mengalir (1990)
Kepompong Sunyi (1993)
Nikah Ilalang (1995)
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
Gustaf Rizal
Segi Empat Patah Sisi (1990)
Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
Ben (1992)
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
Remy Sylado
Ca Bau Kan (1999)
Kerudung Merah Kirmizi (2002)
Angkatan Reformasi
Seiring
terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ
Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri,
muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan
ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun
novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di
rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka
rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai
pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga
didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan
Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang
terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak
melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel
— pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari
tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi
Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, juga ikut
meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
Widji Thukul
Puisi Pelo
Darman
[sunting]
Angkatan 2000-an
Setelah
wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun
tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie
Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya “Sastrawan
Angkatan 2000″. Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya
diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih
penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie
ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak
1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun
Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir
1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
Ayu Utami
Saman (1998)
Larung (2001)
Seno Gumira Ajidarma
Atas Nama Malam
Sepotong Senja untuk Pacarku
Biola Tak Berdawai
Dewi Lestari
Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
Supernova 2.1: Akar (2002)
Supernova 2.2: Petir (2004)
Habiburrahman El Shirazy
Ayat-Ayat Cinta (2004)
Diatas Sajadah Cinta (2004)
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
Dalam Mihrab Cinta (2007)
Andrea Hirata
Laskar Pelangi (2005)
Sang Pemimpi (2006)
Edensor (2007)
Maryamah Karpov (2008)
[sunting]
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2010
Dengan
lahirnya sastrawan angkatan 2000an maka sebagai tindak lanjut
perkembangan sastra di Indonesia maka pada tahun 2010 tumbuhlah
sastrawan angkatan 2010 yang akan bersama dengan sastrawan angkatan
200an untuk memperjuangkan hak-hak penulis dan dari karya yang banyak
berebdeli karena terkait kondisi politik dan ekonomi negara serta
tindak-tindak kriminal angkataaaaan ini di pelopori Tosa spd.diantara
sastrawan angkatan 2010 antara lain sebagai berikut
Tosa spd
lukisan jiwa (2009)Antologi puisi
melan conis (2009)
Toni Saputra
Nurani Soyo Mukti
[sunting]
Cybersastra
Era
internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra
Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia
maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi
non-profit, maupun situs pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia di
dunia maya.
Karya Sastra dan Periodisasinya
A. Karya Sastra Bentuk Prosa
Karangan
prosa ialah karangan yang bersifat menerangjelaskan secara terurai
mengenai suatu masalah atau hal atau peristiwa dan lain-lain. Pada
dasarnya karya bentuk prosa ada dua macam,
yakni karya sastra yang bersifat sastra dan karya sastra yang bersifat
bukan sastra. Yang bersifat sastra merupakan karya sastra yang kreatif
imajinatif, sedangkan karya sastra yang bukan astra ialah karya sastra
yang nonimajinatif.
Macam Karya Sastra Bentuk Prosa
Dalam
khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra
menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu
juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra
prosa lama dan karya sastra prosa baru.
Perbedaan prosa lama dan prosa baru menurut Dr. J. S. Badudu adalah:
Prosa lama:
1. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.
2. Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat feodal).
3. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi.
4. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.
5. Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)
6. Milik bersama
Prosa Baru:
1. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangaN masyarakat)
2. Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari)
3. Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. Berjejak di dunia yang nyata, berdasarkan kebenaran dan kenyataan
4. Terutama dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
5. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas
6. Tertulis
1. Prosa lama
Prosa
lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari
sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan
Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah
Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya
yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang
mula-mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum
dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan
kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan.
Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah
babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai
ada.
Bentuk-bentuk sastra prosa lama adalah:
a.
Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan
ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul
b. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
c. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
d.
Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan
raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang
Tuah.
e. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
f.
Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi
yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
Prosa Baru
Prosa
baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra
atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke
Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima
karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.
Berdasarkan isi atau sifatnya prosa baru dapat digolongkan menjadi:
1.
Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai
mati, mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara
mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi
(pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi
kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir
Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian
yang Tak Kunjung Padam
2.
Riwayat adalah suatu karangan prosa yang berisi pengalaman-pengalaman
hidup pengarang sendiri (otobiografi) atau bisa juga pengalaman hidup
orang sejak kecil hingga dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia.
Contoh: Soeharto Anak Desa atau Prof. Dr. B.I Habibie atau Ki hajar
Dewantara.
3. Otobiografi adalah karya yang berisi daftar riwayat diri sendiri.
4. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
5.
Kisah adalah riwayat perjalanan seseorang yang berarti cerita rentetan
kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti
cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M.
Rajab.
6.
Cerpen adalah suatu karangan prosa yang berisi sebuah peristiwa
kehidupan manusia, pelaku, tokoh dalam cerita tersebut. Contoh: Tamasya
dengan Perahu Bugis karangan Usman. Corat-coret di Bawah Tanah karangan
Idrus.
7.
Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang
menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang.
Contoh: Roromendut karangan YB. Mangunwijaya.
8.
Kritik adalah karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruk suatu
hasil karya dengan memberi alasan-alasan tentang isi dan bentuk dengan
kriteria tertentu yangs ifatnya objektif dan menghakimi.
9.
Resensi adalah pembicaraan/pertimbangan/ulasan suatu karya (buku, film,
drama, dll.). Isinya bersifat memaparkan agar pembaca mengetahui karya
tersebut dari ebrbagai aspek seperti tema, alur, perwatakan, dialog,
dll, sering juga disertai dengan penilaian dan saran tentang perlu
tidaknya karya tersebut dibaca atau dinikmati.
10.
Esei adalah ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas lalu
berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah
hidup, tanggapan, renungan, ataupun komentar tentang budaya, seni,
fenomena sosial, politik, pementasan drama, film, dll. menurut selera
pribadi penulis sehingga bersifat sangat subjektif atau sangat pribadi.
B. Puisi
Puisi
adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah
baris serta ditandai oleh bahasa yang padat. Unsur-unsur intrinsik puisi
adalah
a. tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
b. amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
c. rima adalah persamaan-persamaan bunyi
d. ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
e. metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris
f. majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi
g. kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam, berapi-api, dll.)
h. diksi adalah pilihan kata/ungkapan
i. tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
Menurut zamannya, puisi dibedakan atas puisi lama dan puisi baru.
a. puisi lama
Ciri puisi lama:
1. merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya
2. disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan
3. sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima
Yang termausk puisi lama adalah
1. mantra adalah ucapan-ucapan yangd ianggap memiliki kekuatan gaib
2.
pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4
baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai
sampiran, 2 baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut
isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki,
jenaka
3. karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek
4. seloka adlah pantun berkait
5. gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat
6. syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris, bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita
7. talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris
b. puisi baru
Puisi
baru bentuknya lebih bebas daripada puisi lama baik dalam segi jumlah
baris, suku kata, maupun rima.Menurut isinya, puisi dibedakan atas
1. balada adalah puisi berisi kisah/cerita
2. himne adAlah puisi pujaan untuk Tuhan, tanah air, atau pahlawan
3. ode adalah puisi sanjungan untuk orang yang ebrjasa
4. epigram adalah puisi yang berisi tuntunan/ajaran hidup
5. romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan cinta kasih
6. elegi adalah puisi yang berisi ratap tangis/kesedihan
7. satire adalah puisi yang berisi sindiran/kritik
Membaca Puisi
Adapun faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam membaca puisi antara lain:
1. jenis acara: pertunjukkan, pembuka acara resmi, performance-art, dll.,
2.
pencarian jenis puisi yang cocok dengan tema: perenungan, perjuangan,
pemberontakan, perdamaian, ketuhanan, percintaan, kasih sayang, dendam,
keadilan, kemanusiaan, dll.,
3. pemahaman puisi yang utuh,
4. pemilihan bentuk dan gaya baca puisi, meliputi poetry reading, deklamasi, dan teaterikal
5. tempat acara: indoor atau outdoor,
6. audien,
7. kualitas komunikasi,
8. totalitas performansi: penghayatan, ekspresi( gerak dan mimik)
9. kualitas vokal, meliputi volume suara, irama (tekanan dinamik, tekanan nada, tekanan tempo)
10. kesesuaian gerak,
11. jika menggunakan bentuk dan gaya teaterikal, maka harus memperhatikan:
a) pemilihan kostum yang tepat,
b) penggunaan properti yang efektif dan efisien,
c) setting yang sesuai dan mendukung tema puisi,
d) musik yang sebagai musik pengiring puisi atau sebagai musikalisasi puisi
C. Drama/Film
Drama
atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk
pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra
film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema,
amanat/pesan, plot/alur, perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata
artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor,
sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan
akting (peragaan gerak para pemain).
D. Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi
sastra adalah pembabakan waktu terhadap perkembangan sastra yang
ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Maksudnya tiap babak waktu (periode)
memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan periode yang lain.
1. Zaman Sastra Melayu Lama
Zaman ini melahirkan karya sastra berupa mantra, syair, pantun, hikayat, dongeng, dan bentuk yang lain.
2. Zaman Peralihan
Zaman
ini dikenal tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi. Karyanya dianggap
bercorak baru karena tidak lagi berisi tentang istana danraja-raja,
tetapi tentang kehidupan manusia dan masyarakat yang nyata, misalnya
Hikayat Abdullah (otobiografi), Syair Perihal Singapura Dimakan Api,
Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Jedah. Pembaharuan yang ia lakukan
tidak hanya dalam segi isi, tetapi juga bahasa. Ia tidak lagi
menggunakan bahasa Melayu yang kearab-araban.
3. Zaman Sastra Indonesia
a. Angkatan Balai Pustaka (Angkatan 20-an)
Ciri
umum angkatan ini adalah tema berkisari tentang konflik adat antara
kaum tua dengan kaum muda, kasih tak sampai, dan kawin paksa, bahan
ceritanya dari Minangkabau, bahasa yang dipakai adalah bahasa Melayu,
bercorak aliran romantik sentimental.
Tokohnya
adalah Marah Rusli (roman Siti Nurbaya), Merari Siregar (roman Azab dan
Sengsara), Nur Sutan Iskandar (novel Apa dayaku Karena Aku Seorang
Perempuan), Hamka (roman Di Bawah Lindungan Ka’bah), Tulis Sutan Sati
(novel Sengsara Membawa Nikmat), Hamidah (novel Kehilangan Mestika),
Abdul Muis (roman Salah Asuhan), M Kasim (kumpulan cerpen Teman Duduk)
b. Angkatan Pujangga Baru (Angkatan 30-an)
Cirinya
adalah 1) bahasa yang dipakai adalah bahasa Indonesia modern, 2)
temanya tidak hanya tentang adat atau kawin paksa, tetapi mencakup
masalah yang kompleks, seperti emansipasi wanita, kehidupan kaum
intelek, dan sebagainya, 3) bentuk puisinya adalah puisi bebas,
mementingkan keindahan bahasa, dan mulai digemari bentuk baru yang
disebut soneta, yaitu puisi dari Italia yang terdiri dari 14 baris, 4)
pengaruh barat terasa sekali, terutama dari Angkatan ’80 Belanda,
5)aliran yang dianut adalah romantik idealisme, dan 6) setting yang
menonjol adalah masyarakat penjajahan.
Tokohnya
adalah STA Syhabana (novel Layar Terkembang, roman Dian Tak Kunjung
Padam), Amir Hamzah (kumpulan puisi Nyanyi Sunyi, Buah Rindu, Setanggi
Timur), Armin Pane (novel Belenggu), Sanusi Pane (drama Manusia Baru),
M. Yamin (drama Ken Arok dan Ken Dedes), Rustam Efendi (drama Bebasari),
Y.E. Tatengkeng (kumpulan puisi Rindu Dendam), Hamka (roman
Tenggelamnya Kapa nVan Der Wijck).
c. Angkatan ’45
Ciri
umumnya adalah bentuk prosa maupun puisinya lebih bebas, prosanya
bercorak realisme, puisinya bercorak ekspresionisme, tema dan setting
yang menonjol adalah revolusi, lebih mementingkan isi daripada keindahan
bahasa, dan jarang menghasilkan roman seperti angkatan sebelumnya.
Tokohnya
Chairil Anwar (kumpulan puisi Deru Capur Debu, kumpulan puisi bersama
Rivai Apin dan Asrul Sani Tiga Menguak Takdir), Achdiat Kartamiharja
(novel Atheis), Idrus (novel Surabaya, Aki), Mochtar Lubis (kumpulan
drama Sedih dan Gembira), Pramduya Ananta Toer (novel Keluarga Gerilya),
Utuy Tatang Sontani (novel sejarah Tambera)
d. Angkatan ’66
Ciri
umumnya adalah tema yang menonjol adalah protes sosial dan politik,
menggunakan kalimat-kalimat panjang mendekati bentuk prosa.
Tokohnya
adalah W.S. Rendra (kumpulan puisi Blues untuk Bnie, kumpulan puisi
Ballada Orang-Orang Tercinta), Taufiq Ismail (kumpulan puisi Tirani,
kumpulan puisi Benteng), N.H. Dini (novel Pada Sebuah Kapal), A.A. Navis
(novel Kemarau), Toha Mohtar (novel Pulang), Mangunwijaya (novel
Burung-burung Manyar), Iwan Simatupang (novel Ziarah), Mochtar Lubis
(novel Harimau-Harimau), Mariannge Katoppo (novel Raumannen).
E. Identifikasi Moral, Estetika, Sosial, Budaya Karya Sastra
1. Identifikasi Moral
Sebuah
karya umumnya membawa pesan moral. Pesan moral dapat disampaikan oleh
pengarang secara langsung maupun tidak langsung. Dalam karya satra,
pesan moral dapat diketahui dari perilaku tokoh- tokohnya atau komentar
langsung pengarangnya lewat karya itu.
2. Identifikasi Estetika atau Nilai Keindahan
Sebuah
karya sastra mempunyai aspek-aspek keindahan yang melekat pada karya
sastra itu. Sebuah puisi, misalnya: dapat diamati aspek persamaan bunyi,
pilihan kata, dan lain-lain. Dalam cerpen dapat diamati pilihan gaya
bahasanya.
3. Identifikasi Sosial Budaya
Suatu
karya sastra akan mencerminkan aspek sosial budaya suatu daerah
tertentu. Hal ini berkaitan dengan warna daerah. Sebuah novel misalnya,
warna daerah memiliki corak tersendiri yang membedakannya dengan yang
lain. Beberapa karya sastra yang mengungkapkan aspek sosial budaya:
a. Pembayaran karya Sunansari Ecip mengungkapkan kehidupan di Sulawesi Selatan.
b. Bako Karya Darman Moenir mengungkapkan kehidupan Suku Minangkabau di Sumatera Barat.
eriodisasi Sastra Indonesia – Presentation Transcript
Periodisasi Sastra Indonesia
Oleh:
Alexander Gotama
Deviana Maria
Fiona Angelina
Rafaello Simorangkir
Menurut HB. Jassin
Periodisasi Sastra
Pengertian:
penggolongan sastra berdasarkan pembabakan waktu dari awal kemunculan sampai dengan perkembangannya.
Periodisasi
sastra, selain berdasarkan tahun kemunculan, juga berdasarkan ciri-ciri
sastra yang dikaitkan dengan situasi sosial, serta pandangan dan
pemikiran pengarang terhadap masalah yang dijadikan objek karya
kreatifnya.
Periodisasi Sastra
Ada banyak periodisasi sastra yang disusun oleh para kritikus, antara lain oleh:
HB. Jassin
Ajip Rosidi
A. Teeuw
Rahmat Djoko Pradopo
Yang akan dibahas dalam presentasi ini adalah Periodisasi Sastra menurut HB. Jassin.
HB. Jassin , kritikus Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia Menurut HB. Jassin
Berikut ini adalah periodisasi sastra menurut HB. Jassin:
Sastra Melayu Lama
Sastra Indonesia Modern
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan ’45
Angkatan ‘66
Sastra Melayu Lama
Sastra Melayu Lama merupakan sastra Indonesia sebelum abad 20.
Ciri-ciri Sastra Melayu Lama:
Masih menggunakan bahasa Melayu
Umumnya bersifat anonim
Berciri istanasentris
Menceritakan hal-hal berbau mistis seperti dewa-dewi, kejadian alam, peri, dsb.
Sastra Melayu Lama
Contoh sastra pada masa Sastra Melayu Lama:
Dongeng tentang arwah, hantu/setan, keajaiban alam, binatang jadi-jadian, dsb.
Berbagai macam hikayat seperti; Hikayat Mahabharata, Hikayat Ramayana, Hikayat Sang Boma.
Syair Perahu dan Syair Si Burung Pingai oleh Hamzah Fansuri.
Gurindam Dua Belas dan Syair Abdul Muluk oleh Raja Ali Haji
Angkatan Balai Pustaka
Balai Pustaka merupakan titik tolak kesustraan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan Balai Pustaka adalah:
Menggunakan bahasa Indonesia yang masih terpengaruh bahasa Melayu
Persoalan yang diangkat persoalan adat kedaerahan dan kawin paksa
Dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal
Cerita yang diangkat seputar romantisme.
Angkatan Balai Pustaka terkenal dengan sensornya yang ketat. Balai Pustaka berhak mengubah naskah apabila dipandang perlu.
Contoh
hasil sastra yang mengalami pen-sensoran adalah Salah Asuhan oleh Abdul
Muis yang diubah bagian akhirnya dan Belenggu karya Armyn Pane yang
ditolak oleh Balai Pustaka karena tidak boleh diubah.
Angkatan Balai Pustaka
Contoh sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka:
Roman
Azab dan Sengsara (Merari Siregar)
Sitti Nurbaya (Marah Rusli)
Muda Teruna (M. Kasim)
Salah Pilih (Nur St. Iskandar)
Dua Sejoli (M. Jassin, dkk.)
Kumpulan Puisi
Percikan Permenungan (Rustam Effendi)
Puspa Aneka (Yogi)
Angkatan ‘45
Angkatan
’45 lahir dalam suasana lingkungan yang sangat prihatin dan serba
keras, yaitu lingkungan fasisme Jepang dan dilanjutkan peperangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ciri-ciri Angkatan ’45 adalah:
Terbuka
Pengaruh unsur sastra asing lebih luas
Corak isi lebih realis, naturalis
Individualisme sastrawan lebih menonjol, dinamis, dan kritis
Penghematan kata dalam karya
Ekspresif
Sinisme dan sarkasme
Karangan prosa berkurang, puisi berkembang
Chairil Anwar , sastrawan Angkatan ‘45
Angkatan ‘45
Contoh sastra pada masa Angkatan ’45:
Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar-Asrul Sani-Rivai Apin)
Deru Campur Debu (Chairil Anwar)
Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus (Chairil Anwar)
Pembebasan Pertama (Amal Hamzah)
Kata Hati dan Perbuatan (Trisno Sumarjo)
Tandus (S. Rukiah)
Puntung Berasap (Usmar Ismail)
Suara (Toto Sudarto Bakhtiar)
Surat Kertas Hijau (Sitor Situmorang)
Dalam Sajak (Sitor Situmorang)
Rekaman Tujuh Daerah (Mh. Rustandi Kartakusumah)
Angkatan ‘66
Angkatan ’66 ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini.
Banyak
karya sastra pada angkatan yang sangat beragam dalam aliran sastra,
seperti munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran,
arketip, absurd, dan lainnya.
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Bercorak perjuangan anti tirani proses politik, anti kezaliman dan kebatilan
Bercorak membela keadilan
Mencintai nusa, bangsa, negara dan persatuan
Berontak
Pembelaan terhadap Pancasila
Protes sosial dan politik
Angkatan ‘66
Contoh sastra pada masa Angkatan ’66 adalah:
Putu Wijaya
Pabrik
Telegram
Stasiun
Iwan Simatupang
Ziarah
Kering
Merahnya Merah
Djamil Suherman
Sarip Tambak-Oso
Perjalanan ke Akhirat
ANGKATAN PUJANGGA BARU
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang
dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa
tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa
nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Melihat
latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak
Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan
kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.
Angkatan Pujangga Baru
Pada masa ini, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane.
Pada masa Angkatan Pujangga Baru, ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
Kelompok “Seni untuk Seni”
Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat”
Angkatan Pujangga Baru
Ciri-ciri sastra pada masa Angkatan Pujangga Baru antara lain sbb:
Sudah menggunakan bahasa Indonesia
Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.
Angkatan Pujangga Baru
Salah satu karya sastra terkenal dari Angkatan Pujangga Baru adalah Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Alisjahbana.
Layar Terkembang merupakan kisah roman antara 3 muda-mudi; Yusuf, Maria, dan Tuti.
Yusuf adalah seseorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir yang menghargai wanita.
Maria adalah seorang mahasiswi periang, senang akan pakaian bagus, dan memandang kehidupan dengan penuh kebahagian.
Tuti
adalah guru dan juga seorang gadis pemikir yang berbicara seperlunya
saja, aktif dalam perkumpulan dan memperjuangkan kemajuan wanita.
Angkatan Pujangga Baru
Dalam kisah Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana ingin menyampaikan beberapa hal yaitu:
Perempuan
harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh
yang sangat besar didalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan
demikian perempuan dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
Masalah
yang datang harus dihadapi bukan dihindarkan dengan mencari pelarian.
Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan,
belas kasihan dan pelarian dari rasa kesepian atau demi status budaya
sosial.
Angkatan Pujangga Baru
Selain Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana juga membuat sebuah puisi yang berjudul “Menuju ke Laut”.
Puisi
“Menuju ke Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana ini menggunakan laut
untuk mengungkapkan h ubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Ada
pula seorang sastrawan Pujangga Baru lainnya, Sanusi Pane yang
menggunakan laut sebagai sarana untuk mengungkapkan hubungan antara
manusia, alam, dan Tuhan.
Karya Sanusi Pane ini tertuang dalam bentuk puisi yang berjudul “ Dalam Gelombang”.
Sanusi Pane , pengarang puisi “ Dalam Gelombang”
Angkatan Pujangga Baru
Ditinjau
dari segi struktural, ada persamaan struktur antara puisi Sutan Takdir
Alisjahbana dan Sanusi Pane yaitu pengulangan bait pertama pada bait
terakhir.
Sementara
itu, ditinjau dari segi isi, tampak ada perbedaan penggambaran laut
dalam puisi Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane.
Jika
Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan laut sebagai sebuah medan
perjuangan, Sanusi Pane menggambarkan laut sebagai suatu tempat yang
penuh ketenangan.
Angkatan Pujangga Baru
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.
…
…
Aku bernyanyi dengan suara Seperti bisikan angin di daun Suaraku hilang
dalam udara Dalam laut yang beralun-alun Alun membawa bidukku perlahan
Dalam kesunyian malam waktu Tidak berpawang tidak berkawan Entah kemana
aku tak tahu Menuju ke Laut Oleh Sutan Takdir Alisjahbana Dibawa
Gelombang Oleh Sanusi Pane
Angkatan Pujangga Baru
Amir
Hamzah diberi gelar sebagai “Raja Penyair” karena mampu menjembatani
tradisi puisi Melayu yang ketat dengan bahasa Indonesia yang sedang
berkembang. Dengan susah payah dan tak selalu berhasil, dia cukup
berhasil menarik keluar puisi Melayu dari puri-puri Istana Melayu menuju
ruang baru yang lebih terbuka yaitu bahasa Indonesia, yang menjadi
alasdasar dari Indonesia yang sedang dibayangkan bersama.
Selain
Sutan Takdir Alisjahbana, ada pula tokoh lain yang terkenal dari
Angkatan Pujangga Baru sebagai “Raja Penyair” yaitu Tengku Amir Hamzah .
Sastrawan dan Hasil Karya
Sastrawan pada Angkatan Pujangga Baru beserta hasil karyanya antara lain sbb:
Sultan Takdir Alisjahbana
Contoh: Di Kakimu, Bertemu
Sutomo Djauhar Arifin
Contoh: Andang Teruna (fragmen)
Rustam Effendi
Contoh: Bunda dan Anak, Lagu Waktu Kecil
Asmoro Hadi
Contoh: Rindu, Hidup Baru
Hamidah
Contoh: Berpisah, Kehilangan Mestika (fragmen)
Sastrawan dan Hasil Karya
Amir Hamzah
Contoh: Sunyi, Dalam Matamu
Hasjmy
Contoh: Ladang Petani, Sawah
Lalanang
Contoh: Bunga Jelita
O.R. Mandank
Contoh: Bagaimana Sebab Aku Terdiam
Mozasa
Contoh: Amanat, Kupu-kupu
Presentasi selesai sampai di sini–
JTerima kasih atas waktu yang telah diluangkan untuk mendengarkan presentasi kelompok kami
PERIODISASI SASTRA INDONESIA
MENURUT NUGROHO NOTOSUSANTO
Kesusastraan Melayu Lama
Kesusastraan Indonesia Modern
Masa Kebangkitan
Periode 1920
Periode 1933
Periode 1942
Masa Perkembangan
Periode 1945
Periode 1950
MENURUT AJIP ROSIDI
Masa Kelahiran
Periode awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1933
Periode 1933 s.d. 1942
Periode 1942 s.d. 1945
Masa Perkembangan
Periode 1945 – 1953
Periode 1953 – 1960
Periode 1960 – sekarang
MENURUT HB. JASSIN
Kesusastraan Melayu Lama
Kesusastraan Indonesia Modern
Angkatan 20
Angkatan 33 atau Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 45
Angkatan 66
MENURUT JS. BADUDU
Kesusastraan Lama
Kesusastraan Masa Purba
Kesusastraan Masa Hindu-Arab
Kesusastraan Peralihan
Abdullah bin Abdulkadir Munsyi
Angkatan Balai Pustaka
Kesusastraan Baru
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan Modern (Angk. 45)
Angkatan Muda
MENURUT SABARUDDIN AHMAD
Kesusastraan Lama
Dinamisme
Hinduisme
Islamisme
Kesusastraan Baru
Masa Abdullah bin Abdul-kadir Munsyi
Masa Balai Pustaka
Masa Pujangga Baru
Masa Angkatan 45
MENURUT ZUBER USMAN
Kesusastraan Lama
Zaman Peralihan (Masa Abdul-lah bin Abdulkadir Munsyi)
Kesusastraan Baru
Zaman Balai Pustaka
Zaman Pujangga Baru
Zaman Jepang
Zaman Angkatan 45
MENURUT USMAN EFFENDI
Kesusastraan Lama ( … sampai dengan 1920)
Kesusastraan Baru (1920 sampai dengan 1945)
Kesusastraan Modern (1945 sampai dengan …)
MENURUT ZAIDAN HENDY
Sastra Lama
Sastra Kuno
Sastra Zaman Hindu
Sastra Zaman Islam
Sastra Peralihan (Abdullah bin Abdulkadir Munsyi)
Sastra Baru
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Pujangga Baru
Angkatan 45
Angkatan 66
Periodisasi Sastra Indonesia
Periodisasi Sastra Indonesia
Menurut Para Ahli
Ada
berbagai macam periodisasi sastra Indonesia menurut para ahli. Secara
umum, periodisasi sastra Indonesia dapat dipaparkan sebagai berikut. (1)
Sastra lama (2) Sastra peralihan, dan (3) Sastra Indonesia Baru. Sastra
Lama dibedakan menjadi tiga (a) sastra jaman purba, (b) sastra pengaruh
Hindu, dan (c) sastra pengaruh Islam. Sementara sastra peralihan sering
disebut dengan sastra jaman Abdullah. Sedangkan sastra Indonesia baru
bias dibedakan menjadi (a) sastra balai pustaka (angkatan 20), (b)
sastra Pujangga Baru (angk. 30), (c) Sastra Angk. 45, (d) Sastra Angk.
66, dan (e) Sastra kontemporer (angk. 70-an).
Menurut
B. Simorangkir, periodisasi sastra Indonesia dibedakan menjadi 4 yaitu
(1) Sastra lama.purba, (2) Sastra pengaruh Hindu dan Arab, (3) Sastra
Indonesia baru, dan (4) Sastra mutakhir. Sastra Indonesia baru masih
bias dirinci menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, dan
(c) Pujangga Baru
Menurut
Sabarudin Ahmad, periodisasi sastra Indonesia hanya dibedakan menjadi
2. yaitu sastra lama dan (2) sastra baru. Sastra lama mencakup (a.
dinamisme, (b) Hinduisme, (c) Islamisme. Sedangkan sastra Indonesia baru
dibedakan menjadi (a) Sastra jaman Abdullah, (b) Balai Pustaka, (c)
Pujangga Baru, dan (c) Sastra angkatan 45.
Menurut
JS. Badudu, Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yaitu (1) Sastra
Melayu, dan (2) Sastra Indonesia. Sastra melayu menurut Badudu
dibedakan menjadi 3 (a) Purba, (b) Hindu/Islam, (c) Abdullah. Sedangkan
sastra Indonesia Baru dibedakan menjadi (a) Balai Pustaka, (b) Pujangga
Baru, (c) Angk. 45, dan (d) sesudah Angk. 45.
Menurut
Usman Effendi, sastra Indonesia dibedakan menjadi 3 yakni (1) sastra
lama (…. – 1920), (2) Sastra Indonesia Baru ( 1920 – 1945), dan (3)
Sastra Indonesia Modern (1945 – …..)
Menurut
HB Jassin, periodisasi Sastra Indonesia juga dibedakan menjadi 2, yakni
(1) Sastra Melayu atau sering disebut dengan sastra lama, dan (2)
Sastra Indonesia modern. Jassin tidak merinci sastra melayu atau sastra
lama. Jassin justru merinci sastra Indonesia modern menjadi 4 bagian (a)
Balai pustaka, (b) Pujangga Baru, (c) Angkatan 45, dan (d) Angkatan 66.
Lain
Lagi dengan Nugroho Noto Susanto. Nugroho membedakan sastra Indonesia
menjadi 2, yakni (1) sastra Melayu atau sastra lama, dan (2) sastra
Indonesia modern. Sastra Indonesia modern oleh Nugroho dibedakan menjadi
2 yaitu (a) masa kebangkitan, dan (b) masa perkembangan. Masa
kebangkitan masih dirinci menjadi 3 (i) periode 20, (ii) periode 33, dan
(iii) periode 42. Sedangkan masa perkembangan dibedakan menjadi 2,
yaitu (i) periode 45 dan (ii) periode 50
Ajib
Rosidi membedakan periodisasi sastra Indonesia juga menjadi 2, yaitu
(1) Masa kelahiran dan (2) masa perkembangan. Masa kelahiran dirinci
menjadi 3 yaitu (a) awal abad XX s/d 1933, (b) 1933-1942, dan (c) 1942 –
1945. Sedangkan masa perkembangan dibedakan juga menjadi 3, yaitu (a)
1945 – 1953, (b) 1953 – 1960, dan (c) 1960 – ….
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M.C. (15 Oktober 1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan.
Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (15 Oktober 1991). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo.
Yudiono (15 Oktober 2007). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Lekra
Lembaga
Kebudayaan Rakyat yang didirikan 17 Agustus 1950 di Jakarta. Mempakan
organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan PKI (Partai Komunis
Indonesia). Lembaga ini mempakan federasi seni non pemerintah yang jelas
berorientasi pada Komunis dengan dana yang cukup memadai, dengan
sumber-sumbernya yang tak dapat dilacak dengan mudah. Orang yang pernah
menjadi Sekretaris Jenderalnya (1950-1959) antara lain A.S. Dharta. Pada
waktu berdirinya, tercatat 15 seniman yang berdiri dibelakangnya,
antara lain Joebaar Ajoeb, A.S. Dharta, M.S. Ashar, Herman Arjuno, Njoto
dll. Lekra memiliki devisi sastra, seni rupa, seni suara, seni drama,
seni film, filsafat dan olah raga.
Lekra
termasuk anggota Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional tapi Lekra
sebagai organisasi lebih ketat daripada BMKN. Lembaga ini telah
mendirikan 18 cabang di propinsi yang dikepalai oleh
perwakilan-perwakilan yang merekrut para anggota lokal. Lembaga ini
dalam perkembangannya menjadi sebuah badan yang homogen yang diikat
dengan erat oleh ideologi Lekra. Cabang-cabang tersebut memiliki seksi
yang disebut realis dinamo, yakni sebuah kelompok yang aktif dalam
produksi pertunjukan-pertunjukan populer yang menghibur yang disulam
dengan propaganda.
Konsep dasar sastra Lekra adalah (1) Seni untuk rakyat:
sastra mengabdi dan memo bela kepentingan kaum buruh dan kaum tani yang
digambarkan tertindas oleh kaum borjuis, kaum feodal dan kaum
kapitalis. Sastra ini memusuhi kaum penindas, di samping kaum agama dan
sastra yang berhaluan humanisme-universal; (2) Politik adalah
panglima: kepentingan politik komunis di atas segalanya. Sastra Lekra
tunduk kepada kepentingan PKI. Semboyan sastra Lekra dalam hal ini
adalah "Kesalahan politik lebih jahat daripada kesalahan artistik"; (3) Meluas dan meninggi:
meluas artinya sastra harus setia kepada kaum buruh dan kaum tani,
sedangkan meninggi berarti sastra harus seimbang antara kreatifitas
dengan peningkatan ideologi PKI; (4) Gerakan turun lee bawah: sastrawan
Lekra harus mengenal kaum tani dan kaum buruh secara objektif dan baru
mengengkatnya dalam karya sastra; (5) Organisasi: kedudukan organisasi
penting membentuk seorang sastrawan sosialis. Dalam organisasi tersebut
para sastrawan dapat saling memberikan kritik, saling memberi dan
menerima. Lekra memiliki wadah sastra untuk melakukan kegiatannya,
antara lain, Harian Rakyat, Sunday Courier, Bintang Timur, majalah Jaman
Baru. Tokoh-tokoh sastrawan Lekra adalah A.S. Dharta alias Klara
Akustia alias Yogaswara, Agam Wispi, S. Regar, Rumambi, dll. Sastrawan
di luar Lekra yang berhasil "ditarik" ke dalam Lekra adalah Pramoedya
Ananta Toer, S. Rukiyah dan Utuy Tatang Sontani. Setelah kegagalan
pemberontakan G-30-S/PKI pada tahun 1965, Lekra bersama PKI dinyatakan
sebagai organisasi terlarang di Indonesia. Semua karya sastra Lekra
dilarang di Indonesia.
Sejarah sastra angkatan 66
Merupakan
suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan
sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada
politik. Bahkan ada di antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai
politikus daripada pengarang. Sebut saja Muh. Yamin dan Roestam Effendi
dan beberapa penulis lain. Demikian juga para pengarang pujangga baru.
Mereka adalah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional.
Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang tidak
berpolitik. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja,
Mochtar Lubis, merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan
kesadaran politik yang tajam.1 A. Angkatan ’66 dalam Perangkap Politik
Perbedaan-perbedaan
pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada
perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam
dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik
yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45
dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang
berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham
realisme-sosialis, paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif
mengadakan polemik. Penganut paham realisme-sosialis yang paling keras
teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan
polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”.
Orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk
rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni”
sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat
kaum borjuis kapitalis yang bobrok.
Di antara polemik-polemik itu,
karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang
luas serta hati terbuka, maka yang terjadi sekitar tahun 1954 antara
Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan
pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.
Pada
tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang
kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris
jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini
belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Di antara yang hadir pada
ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi
musuh, antara lain: H.B. Jassin dan Achdiat K. Mihardja.
Setelah PKI
kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra
dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang
menganut paham “seni untuk seni”.
Dalam gelanggang percaturan
politik, PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan
UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol)
sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI
untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut
kekuasaan.2
Dalam usaha mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan,
PKI mengerahkan segala kekuatan di segala bidang. Dalam bidang
kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap
orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham. Maka,
disusunlah konsep ”Manifes Kebudayaan” oleh Wiratmo Soekito pada tanggal
17 Agustus 1963 yang akhirnya didiskusikan dengan beberapa penulis,
pelukis, pengarang dan seniman, di antaranya: H.B. Jassin, Trisno
Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Moehammad,
Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Soe Hok Djin (Arif Budiman), Ras
Siregar, D.S. Moeljanto, Sjahwil, dan Djufri Tanissan, dalam sebuah
pertemuan di Jl. Raden Saleh 19, pada tanggal 23-24 Agustus pada tahun
yang sama.3
Dari hasil pertemuan itu, lahirlah manifes kebudayaan
yang isinya kurang lebih berupa pernyataan bahwa kesenian (kesusastraan)
Islam ialah manifestasi dari rasa, karsa cipta, dan karya manusia
muslim dalam mengabdi kepada Allah untuk kehidupan ummat manusia, atau
melihat setahun sebelumnya, ketika Majelis Seniman dan Budayawan Islam
pernah mengatakan bahwa tujuan kebudayaan pada umumnya dan kesenian pada
khususnya tidaklah semata bertujuan \"seni untuk seni\" atau \"seni
untuk rakyat\" tetapi harus diluhurkan menjadi, \"seni untuk kebaktian
ke hadirat Allah\"; sebaiknya tidak dimaknai dengan menggunakan kerangka
berpikir yang dogmatis. Ada satu hal yang perlu digaris bawahi dalam
kedua pernyataan di atas, yaitu bahwa kesusastraan Islam, kalaupun
berawal dari manusia muslim, pada akhirnya adalah umat manusia secara
universal. Di sini ada usaha untuk merobek tirai dogmatisme baik dalam
kesastraan ataupun keislaman itu sendiri.4
Manifes kebudayaan ini
segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain,
manifes mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan
orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun
tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka
namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi
ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan
Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan,
Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang.
Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes
kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan
karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari
pekerjaannya.5 Istilah ‘Manikebuis’ menjadi populer digunakan untuk
menuduh seseorang kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek,
anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit.
Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.
Situasi ini memberi
ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan pada periode ini. Yang
ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan
fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis
merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat
manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin,
Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah
demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966.
Sajak-sajak
demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng
(tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit
Majalah Horison yang dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail,
Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967,
majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin.
Terbit pula Majalah Cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto.
Sejak Juni 1968 terbit Majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen
Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo.
Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.
B. Tentang Para Pengarang Lekra
Karangan-karangan
yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan
bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya
kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962
diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.
Selain ruangan kebudayaan
dalam surat kabar partai Harian Rakyat yang dipimpin oleh NR. Bandaharo,
Lekra mempunyai majalah Zaman Baru yang dipimpin oleh Rivai Apin, S.
Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka
menerbitkan harian Kebudayaan Baru yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang
dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai
dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para
anggota Lekra atau bukan.
Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah
seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota
pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam
surat kabar Bintang Timur minggu, yang resminya ialah koran Partindo.6
Di
antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada
juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk
Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S.
Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Aidit, Utuy T.
Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.
Di
antara para penulis yang namanya sejak mulai muncul selaku dalam
lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, Bakri Siregar, Hr.
Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail
Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak,
Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain. AS Dharta alias Kelana Asmara,
alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah
alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur
tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris
jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante
sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra.7
Bachtiar Siangin banyak
menulis Sandiwara. Ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya
Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934.
Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk
sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan
bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).
S. Anantaguna (lahir
di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi
kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak
yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah”
(1964).
Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula
hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak
awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam
kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan”
(1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959)
sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap
Revolusi (1962).
Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi
Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan
dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954). Penyair Lekra diantara
yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga
menulis
LEKRA
Yang
mereka tulis, mereka bukukan sekemampuan kadarnya. Yang mereka alami,
mereka tuangkan dalam bentuk yang bisa diraba. meski untuk belasan
hingga puluhan tahun, mereka simpan itu semua di dalam tanah. dengan
botol berisi gulungan kertas puisi. berisi lukisan. keratan pada kayu
gitar. sulaman taplak meja. bahkan surat-surat yang datang sekali dalam
dalam sebulan pun menjadi jimat (siji dirumat, satu hal yang
dipelihara). karena dari itu semua, mereka bisa paparkan apa
sesungguhnya yang terjadi dalam masa penderitaan di tahanan sepi,
bercinta dengan ular, nyamuk, katak, serangga, dan kelelawar.
renta
tubuh mereka, kini, menatap gambar dan tulisan itu terpajang di gedung
mewah dibanding pada masa mereka berkarya dulu. Renta tubuh tertatih
tatih dalam ruang berbagi. kulit legam menorehkan sisa derita. tubuh
bungkuk berbalut tulang. gigi hitam berlubang dan ompong, mewarnai tawa,
senyum, dalam kegetiran dan pancaran mata yang masih menyiratkan
setitik harapan, kapan aku dinyatakan oleh penguasa aku adalah warga
terhormat.
bertahun
mereka mendapati ternyata saat dalam penghidupan kini pun masih
menjumpai benteng-benteng, tembok-tembok kukuh, berpenjaga lars sepati
dan laras senapan. hanya aroma rokok dan udara yang seolah-olah segar
yang menyapu masa lalu makin tak terlupakan. Aroma harum minyak wangi
impor bahkan minyak wangi palsu yang menjamur di mana-mana,
menenggalamkan bau-bau anyir darah yang terus mendelewer dan mengalir
dalam gorong-gorong mengering hitam menjadi tato tak bernyawa.
Mereka
menjadi rajin berkumpul untuk melakukan perbincangan-perbincangan antar
mereka, agar perjuangan mereka yang telah mengkandaskan nasib kembali
dibangkitkan. Namun sejarah telah melangkah begitu jauh sehingga tidak
ada kata tidak bagi mereka kecuali hanya sekedar bernostalgia. Kenangan
itu Membayangkan Keperkasaan.
Seringkali
dalam perbincangan mereka mereka menjadi teringat akan masa lalu
mereka. Ketika mereka masih muda dan perkasa, begitu banyak kegiatan
yang sanggup mereka jalankan. Tidak salah dulu mereka merasakan hal itu
karena memang pada saat itu kelompoknyalah yang berkuasa. Dan sanggup
membuat kebijakan-kebijakan yang kadang mampu membuat lawan kelompoknya
keder, dan mesti menyusun strategi berlipat-lipat sebagai kebalikan dari
gerakan yang mereka lancarkan.
Pada
masanya ada di antara mereka yang menjadi wartawan koran yang
berafiliasi pada PKI. Ia menampakkan kesungguh-sungguhan dalam hidup
sebagai penulis berita itu. Pada masa itu ia sungguh-sungguh mendapat
kepuasan sebagai manusia yang punya ideologi. Masa itu adalah masa yang
akan selalu diimpikan sebagai masa penuh kekuatan dan kekuasaan. Dan ia
yakin seyakin-yakinnya, semua masa akan baka, bahkan sampai kapanpun ia
akan sangat menikmati profesinya semacam ini.
Meski, kenyataan terbukti bicara seratus delapan puluh derajat terhadap nasib mereka.
Hingga,
masa kini sudah masa yang terlalu jauh dan lama rentang waktunya dari
masa mereka dulu beraktivitas dan menjadi incaran lawan politik mereka.
Undangan
demi undangan sering dikirim pada teman-teman senasib. Pertemuan demi
pertemuan diadakan di tempat-tempat mereka secara bergantian.
Pembicaraan demi pembicaraan dilakukan dengan penuh semangat. Tak ada
lagi rasa takut dan kekhawatiran mereka. Meski kadang-kadang masih juga
muncul suara-suara perlawanan terhadap mereka yang notabene dianggap
sebagai underbouw PKI, partai yang dianggap terlarang dan dihukum tanpa
pengadilan yang adil.
Apapun,
mereka masih meraba-raba apa yang akan mereka lakukan selanjutnya
dengan kegiatan-kegiatan mereka. Namun toh, meski mereka tidak tahu apa
yang sesungguhnya menjadi pencarian mereka, mereka terus saja melakukan.
Sebab dunia toh akan selalu berputar dan kehidupan mereka juga masih
saja membutuhkan sentuhan-sentuhan dalam detak jantung dan irama aliran
darah yang terus mengalir.
Tak
apa-apa meski seolah langit suram. Kegiatan akan jalan terus. Toh semua
tetap pada edar masing-masing. Ada yang menjadi kelompok besar dan
berkuasa. Ada yang cukup menjadi kelompok kecil yang tetap pada ranah
edar. Ada yang mungkin hanya menjadi penggembira. Siapa tahu, ketika
jaman terus berputar dan banyak pilihan-pilihan selanjutnya, mereka
dapat memilih untuk menjadi pemenang. Meski diketahui, menjadi pemenang
adalah awal dari kedatangan kekalahan, bila gagal mempertahankannya.
Anak-anak
mereka yang diharapkan mengerti, paham dan menggantikan sukma yang
telah teraniaya, apakah mereka mampu menahan getir dan derita ini? ada
banyak di antara mereka berteman dengan berbagai anak muda dari golongan
yang makin tak terbatas. bahkan dari kalangan yang orang tuanya adalah
pemenggal-pemenggal kepala. bahkan anak-anak derita itu acapkali adalah
juara yang memimpin anak pemenggal kepala.
Kata
mereka tentang anak-anak mereka, “Apa yang bisa diharapkan dari
anak-anakku kini? terlalu lama mereka menjadi juara lomba-lomba
doktrinasi paham negara yang dipaksakan dijabarkan dalam butir-butir
palsu. nyata kepalsuan itu ketika nyatanya yang terjadi di bumi negeri
ah........”
“Sungguhkan darahku tidak lagi menghidupkan anakku?”
Ada
sebuah harapan bahwa anak-cucu lah yang bakal melanjutkan perjuangan
yang mereka lakukan. Mungkin anak cucu itu tidak tahu apalagi paham
bahwa sesungguhnya perjuangan mereka sebagai orang tua dan moyang dari
sebuah pergerakan penuhlah dengan romantika dan bahaya. Sungguh mereka
mungkin tidak mengerti apa yang menjadi pergulatan mereka pada masa muda
para pejuang ini.
Apapun,
tetap ada harapan. Apapun, yang namanya perjuangan untuk sebuah
kebenaran adalah baik, dan nilai-nilai kebenaran adalah nilai-nilai
universal yang siapapun pasti akan mempunyai rasa untuk memiliki.
Soal sejarah kelam ini, generasi muda saat ini terbelah jadi beberapa bagian.
ada
yang ingin bersikap obyektif menganggap tidak tau apa sebenarnya yang
terjadi soal tragedi 65, pertarungan elit politik dan lain-lain sangat
ruwet, sehingga meraka lebih baik menyulam masa depan sendiri dengan
melihat sejarah ini sebagai pelajaran, dan punya masa sendiri untuk
memperjuangkan nilai--nilainya.
ada
yang apatis karena menganggap itu bagian dari masa kelam yang mereka
tak tahu. Bahkan untuk menghargai karya-karya yang besar mencerminkan
kesungguhan hidup bangsa ini pada masa keemasaan kebanggannya, anak
generasi mudah tiadalah tahu dan mau. ketakutan masih menghantuimereka
begitu mendengar nama-nama kiri.
begitu
mendengar karya-karya yang tak pernah mereka dengar, mereka hanya
numpang lewat, mengernyit, mencibir, atau serius, tergantung pencirian
sikap mereka terhadap karya-karya masa nasionalisme begitu tinggi.
karya-karya
besar itu pun mereka tidaklah tahu. mengais-ngais karya itu dalam
pameran buku korban di jakarta tahun lalu, menyisakan kenelangsaan dunia
perbukuan. begitu banyak nyawa sastra dan kesaksian yang tidak menancap
di kalangan kebanyakan generasi muda masa kini yang bahkan sudah
terseret dalam perseks-an dunia perbukuan. karya-karya cerpen di koran
tiap hari, di kumpulan cerpen rakyat ini, chicklit dan teenlit, mana ada
yang menggambarkan pergulatan kebanggan bangsa ini. Apalagi dunia
global yang sudah meracuni setiap hembusan nafas, pandang mata dan
telinga melalui televisi yang berharga sangat murah, bahkan peswat
elektronik apapun sampai internet yang memacu bersliwerannya informasi
begitu mudah, membuat tak ada tempat bagi suara ideologi yang
ketinggalan jaman.
Ada yang apatis karena trauma terhadap derita orang-orang dekatnya.
ada
yang ingin melanjutkan perjuangan dan menanggung hutang dosa bila tak
ikut empati dan melanjutkan perjuangan orang tua mereka yang menjadi
korban.
Namun
apa yang diharapkan tidak selamanya menjadi kenyataan. Anak cucu mereka
tidak sepenuhnya dapat menerima kenyataan ternyata untuk mengharap
pulihnya status mereka dalam berkesenian, tidaklah seperti yang
digaungkan bahwa mereka bersih tanpa cacat cela. Bahwa kehidupan mereka
tidaklah semata-mata untuk suatu ideologi, namun juga lebih pada
kesenangan duniawi, tepatnya kebutuhan duniawi. Mengapa begitu ternyata
setelah ada harapan pemulihan status mereka, mereka mau-mau saja
membayar jutaan rupiah kepada orang yang katanya bersedia membantu
mereka mendapatkan hak pensiun.
Maka
kata anak mereka, “Aku tidak mau papa terlibat lagi pada gerakan itu.
Meskipun hanya untuk kumpul-kumpul. Aku tidak mau perasaan mama
menderita hanya karena papa masih suka membicarakan dan berkumpul
tentang pergerakan yang telah dibasmi sampai ke akar-akarnya itu.
Sungguh sakit semua telah menjadikanku serba sakit hanya karena telah
dianiaya tanpa alasan yang berdasar. Aku ingin Mama dan Papa
kehidupannya tenang di hari tua ini.”
ada
yang berlawanan dengan nilai-nilai derita paa korban, menganggap memang
mereka layak untuk mendapat ganjaran itu karena dosa-dosa mereka
terhadap lawan dan negara.
Beberapa
gerakan anak masa kini sudah membuahkan pahit, mereka menajdi sangat
tertindas. Hanya karena membicarakan buku-buku berhaluan kiti, toko buku
penyelenggara diserbu oleh massa. Karyawan tokonya yang notabene adalah
aktivis juga tidak ketahuan rimbanya. Dicari beberapa kali dalam kota,
tidak ketemu. Bahkan sampai beberapa hari.
Namun
tetap muncul veteran-veteran yang mau menjadi nabi di tengah
kegersangan wacana kemanusiaan dan nasionalisme. sungguh sebetulnya
sangat terlambat.
namun
apa boleh buat, Martin Aleida sudah begitu bertahun-tahun harus gerilya
dalam menyalurkan gelisah resahnya di berbagai institusi, dan baru
akhir-akhir ini menyuarakan secara terang-
terangan apa yang ada di ulu hatinya.
apa
boleh dikata, Putu Oka Sukanta terlalu lama memacari nyamuk di pulau
Buru, dan lahir kembali dalam dasa warsa belakangan ini, lalu kembali
menyuarakan nyawanya yang nyaris terbang.
Sobron
Aidit gencar meluncurkan berbagai pikirannya, apapun temanya, sehingga
menyulitkan kaum kita melacak mau dibawa ke mana thema perjuangannya,
yang secara meterai penggolongan sebetulnya sudah diketahui siapa ia.
Asahan
Aidit pun mulai berkibar kembali dengan kisah-kisahnya meski untuk
mewujudkan suatu penyatuan thematik untuk arah idealismenya membutuhkan
waktu dan kesulitan tersendiri.
Harsutejo,
Haryo Sasongko, menapak perjuangannya dengan kepenulisan yang punya
warna sendiri, dan beberapa pengarang senafas lain pun melakukan
penjejakan perjalanan melanjutkan apa yang telah diimani.
Banyak
yang sulit untuk diucapkan namanya. meski pada masanya dulu mereka juga
melakukan pergerakan kepenulisan yang lumayan menurut ukuran
masing-masing.
Tentu
saja nama-nama itu tak bakal bisa melampaui tinggi berkibarnya
Pramoedya Ananta Toer yang ternyata dalam pengakuannya dulu ia mengaku
tak ikut isme-isme pihak yang bertikai antara Lekra dan Manikebu, meski
harus menanggung derita sebagai pihak terkalahkan.
Entah
apa yang membuat Pram mengatakan ia bukan salah satu golongan yang
kalah dalam sejarah berdarah itu. tetap saja ketahuan dari nafas
kepenulisannya, sebetulnya apakah yang menjadi buah-buah pikir dan mau
dibawa kemana tubuh dan jiwa bangsa ini oleh tulisan-tulisanPram.
Demikian
juga para penulis yang lain, buah tak jatuh jauh dari pohonnya.. dari
buahnya kita tahu pohon apa yang membuat mereka punya kegigihan
menancapkan kuku-kuku penanya.
dan
nilai luhur itu pasti tak bakal hilang begitu saja. apa yang hakaki
pastilah akan bisa menggerakkan roh yang sama hakiki di tiap-tiap tubuh
dan jiwa orang.
ketulusan
untuk itu, mesti kita pertahankan. sebab, masakan yang menciptakaan
tubuh, jiwa dan roh itu punya perbedaan pengenalan akan tubuh dan jiwa
dan roh yang juga tulus.
memang tidak seterang bumi di siang hari, namun kita punya keyakinan masa selamanya malam menguasai bumi.
kita
tak akan pernah berhenti berjuang dengan ketulusan dan kecerdikan. Kita
akan terus dengungkan nilai-nilai kemanusiaan yang ditindas. tidak ada
kata menyerah soal hal ini. kita sendiri sudah apatis soal rekonsiliasi,
kalau ternyata tidak pernah ada pembuktian secara hukum, siapa yang
salah dan dihukum.
Penguasalah
yang sebetulnya bisa mewujudkan jalan ini untuk menunjukkan hal secara
legal. Nelson Mandela misalnya, bisa berkuasa dan menghukum lalu
mengampuni lalu terjadi rekonsiliasi. sementar adi Indonesia, pelaku
pembantaian atau kroni-kroninya masih berkuasa, sedang korban keganasan
pembantaian posisinya sangat lemah.
kita
butuh pemimpin. pemimpin itu ratu adil yang akan menjadi seperti Nelson
Mandela untuk bersikap. secara fisik kita tidak punya pemimpin yang
berjiwa demikian. Mulai dari Gus Dur yang sudah mulai membuka peluang,
diteruskan Megawati yang tidak mau memanfaatkan peluang, dan Kini kita
hanya punya Presiden yang mencoba Moderat bagi semua.namun tak mau
melakukan yang vital dengan tegas. Kalaupun tegas, keberpihakannya
terlalu banyak kepentingan bagi semua partai di sekitarnya.
Kita
butuh Pemimpin yang punya jiwa martir untuk membimbing bangsa ini
keluar dari ketidak adilan dan kesewenang-weanangan. kita di sini
hanyalah orang-orang yang akan menyuarakan nilai-nilai kemanusiaan,
tidak peduli apapun latarbelakang kita. kita harus menjunjung tinggi
nilai-nilai
kemanusiaan
yang secara hukum apapun mutlak diakui keberadaannya. Nilai keadilan
harus kita terus suarakan. teruslah, dengan berbagai cara.
secerdik-cerdiknya.
bukan
untuk golongan. bukan untuk pribadi. bukan untuk partai. tapi untuk
nilai-nilai ideal. dan nilai-nilai ideal itulah yang akan memimpin kita.
teruslah suarakan nilai-nilai ideal itu. kita yakin semua orang
termasuk saya dan saudara-saudara semua punya hati nurani yang kudus
yang akan
memimpin kita........
Meski
untuk itu tidak bakalan menjadi mudah. Terlalu banyak muncul arus
perlawanan termasuk penuli-penulis dan pahlawan-pahlawan kesiangandari
berbagai model termasuk para:
Beo Berranjang darah.
Pengabdian ala Sastrawan Lekra
Mengkaji
keterkaitan antara karya sastra dengan kondisi sosio-budaya dan politik
berarti melihat fungsi sosial sastra sebagai media propaganda yang
dapat dijadikan sebagai media untuk mempengaruhi dan menggerakkan
masyarakat pembaca. Sastra menempati posisi sebagai suara yang mengajak
(atau setidaknya memberikan informasi) untuk melakukan perubahan,
menjaga stabilitas (dan) keharmonisan kehidupan, telah melahirkan cabang
ilmu sastra baru. Cabang ilmu ini mengambil dasar pada sejarah dalam
proses penciptaannya yang kemudian disebut dengan realisme sosialis.
Realisme
sosialis menjadi faham di dalam sastra yang secara netral tidak
memposisikan diri sebagai metode dalam proses penciptaan karya sastra,
melainkan sebagai hubungan filsafat yang mana dijadikan landasan di
dalam proses penggarapan karya sastra itu sendiri. Realisme di dalam
realisme sosialis tidak diartikan sebagai konsep mengenai kebenaran yang
mutlak. Kebenaran yang diusung oleh realisme sosialis bukan kebenaran
yang telah terjadi di dalam kehidupan realitas masyarakat, akantetapi
lebih sebagai bentuk kebenaran yang sebatas bagian dari kebenaran di
dalam proses dialektik.
Hubungan antara karya
sastra dengan hal yang berada di luar sastra (katakan: politik) memiliki
hubungan yang erat dan saling mempengaruhi. Sastra sebagai media
manifestasi dari perkembangan politik yang berlangsung di kehidupan
masyarakat. Sastra sebagai media untuk memberikan pendidikan dan
sekaligus juga perlawanan.
Kondisi
ini pernah terjadi di Indonesia pada sekitar tahun 1955 – 1956, yang
pada kondisi di masa itu telah menempatkan karya sastra sebagai lat
pengukuhan atas suatu faham kepada masyarakat Indonesia. Kelompok
sastrawan yang mengangkat politik sebagai bagian dalam proses penciptaan
karya adalah golongan sastrawan yang menamakan diri dengan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada masa itu, kita mengenal Lekra sebagai
golongan sastrawan yang menjadikan sastra sebagai alat propaganda Partai
Komunis Indonesia. Di sisi lain, sastrawan Lekra lebih dikenal dengan
karya sastra yang menyuarakan kemanusiaan yang di dalamnya juga
mengandung unsur marxisme-leninisme.
Sastrawan
Lekra menyatakan bahwa kebudayaan merupakan senjata yang mematikan demi
terwujudnya revolusi kaum proletar. Slogan yang diusung oleh sastrawan
Lekra, yang dikutip bebas oleh penulis, bahwa sastra harus mengabdi pada
kepentingan rakyat dan revolusi. Filsafat marxisme-leninisme menjadi
pedoman yang mendasar bagi penggarapan karya.
Sastra
dalam pandangan sastrawan Lekra adalah karya yang di dalamnya memuat
tiga-tinggi, yaitu tinggi ideologi (marxisme-leninisme), tinggi
artistik, dan tinggi organisasi. Di dalam pandangan sastrawan Lekra,
karya juga harus mengandung tiga-baik, yaitu baik bekerja, baik belajar,
dan baik moral. Penilaian karya sastra (dan tentunya di dalamnya adalah
seni secara umum) menggunakan metode yang berbunyi “politik sebagai
panglima” yang mengatakan bahwa fungsi sastra harus mengabdi pada
kepentingan revolusi yang mengacu pada filsafat MDH dan
marxisme-leninisme.
Sastrawan
Lekra memegang nilai moral, yang apabila menurut Sudisman yang termuat
di dalam Pledoi Sudisman, dikatakan bahwa moral kaum marxis adalah norma
atau ketentuan yang mengatur kebebasan aktivitas seseorang sesuai
dengan kelasnya. Dalam proses penciptaan karya sastra, sastrawan Lekra
memegang prinsip kemanusiaan, prinsip keadilan, dan kepekaan terhadap
permasalahan-permasalahan rakyat kecil. Sastrawan Lekra melakukan
keberpihakan pada rakyat kecil melalui karya-karya yang mereka ciptaan,
misalnya, Marco Kartodokromo. Pada saat kondisi politik memanas dan di
dalamnya terjadi perseteruan antara Lekra dengan Sastrawan Manikebu,
dengan terang-terangan sastrawan Lekra mempraktekkan teori Gorki yang
menempatkan sastra sebagai senjata.
Setelah
masa Lekra berakhir bersamaan dengan kegagalan Partai Komunis Indonesia
(yang katanya) melakukan pemberontakan yang terkenal dengan kudeta
30/S/PKI atau Gestapu (Gerakan September Tiga-puluh), banyak sastrawan
Lekra yang ditangkap dan dibunuh. Terlepas dari tragedi 30 September dan
yang memicu pembantain di hari yang menjadi moment kesaksian Pancasila,
dapat dilihat, bahwa dengan karya sastranya, para sastrawan Lekra
melakukan pengabdian bagi kemanusiaan. Pemihakkan pada nasib rakyat
kecil menjadi agenda utama, yang dilakukan untuk menggalang kekuatan
rakyat sipil untuk mewujudkan revolusi Indonesia. Akhir kata, pengabdian
sastrawan Lekra harus mereka bayar dengan darah dan luka.
Doa
serta salam, semoga mereka yang telah gugur mendapatkan balasan dan
keadilan yang sebaik-baiknya dari yang memiliki hak atas mereka.